Diwaktu subuh, Mura terbangun. Mendengar suara orang-orang yang sedang melaksanakan solat di mesjid samping kosannya. Mura terhentak. Kaget dengan suara imam yang sedang membaca surah Al-qoriah yang terdengar jelas dari speaker masjid. Hanya dua puluh menit Mura tertidur. Sehabis semalam suntuk merayakan patah hatinya. Ditemani berbotol-botol minuman keras yang ia beli sebelum menepi dikamar kosannya malam tadi. Hati Mura hancur. Mendengar kabar bahwa Nuyi, pujaan hatinya, kasih tak sampainya telah berbadan dua oleh kekasihnya. Siang tadi. Mura mendapat kabar dari teman satu kantornya Nuyi, bahwa benar, kini kasih abadinya telah melakukan hal yang sepatutnya tidak dilakukan. Meski dengan kekasih sendiri. Semenjak sore itu pikiran Mura kacau, tak bisa merasa, tak bisa berkata. Hanya dendam yang tertanam dalam pada kekasih Nuyi yang telah menodai pujaan hatinya.
Fajar itu Mura tak karuan. Tentang perasaan, tentang hati yang luluh lantah, juga efek dari minuman beralkohol yang dia konsumsi sedari malam tadi. Pikirannya mulai menuju pada hal-hal yang ekstrim. Terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup. Dengan cara apapun, yang penting Mura mati pagi ini. Begitu pikirannya. Segala macam cara mengakhiri hidup telah dia pikirkan, mulai dari meminum racun, gantung diri, atau menyayat nadinya sendiri. Beruntung karna 'basian' mabuk semalam, semua itu hanya ada dipikirannya. Tak sampai melakukannya. Karna badannya lemas tak berdaya. Hingga sampai keadaan sudah sunyi kembali, orang-orang yang melaksanakan kewajiban subuhnya dimesjid telah pulang kerumah masing-masing. Mura akhirnya tertidur kembali. Terlelap bersama pikiran dan perasaan yang hancur berkeping-keping.
***
Empat hari sudah, Rena menunggu kedatangan pelanggan favoritnya yang tak kunjung datang. Rena, seorang barista cantik belia yang mengelola kedai kopinya sendiri. Kedai kopi yang dia rintis semenjak lima tahun terakhir, menjadi kegiatan sehari-hari gadis periang ini. Semua jenis pelanggan telah Rena temui. Mulai dari yang asik hingga so asik. Hingga satu hari, Rena kedatangan pelanggan seorang pria, pria muda yang sepertinya seorang pekerja kantoran. Dilihat dari cara berpakaian yang rapi, dengan kemeja semi formalnya yang berwarna marun, celana slim berbahan katun berwarna hitam, dan sepatu pantofel berwarna coklat. Pertemuan pertama mereka diawali dengan senyuman manis khas Rena. Senyum tipis dibibirnya, lesung pipinya, dan matanya yang menyipit membuat siapa saja yang melihat pasti terhipnotis dibuatnya. Hal inipun berlaku kepada Mura. Mata Mura menyiratkan ketertarikan kepada Rena. Hanya saja, hatinya langsung menepis. Pikirannya masih mencintai Nuyi kala itu. Mura memesan es kopi hitam pahit, dan langsung menepi mencari tempat duduk yang kosong.
Sebetulnya pertemuan mereka memberi isyarat ketertarikan masing-masing. Hal itulah yang membuat Mura terus-terusan mampir dikedai kopi Rena setiap sore. Pun terjadi pada Rena. Hari-hari Rena menjadi semakin bersemangat menjalani hari. Semenjak pertemuan itu, mereka saling mengisi, saling berbagi kisah. Dengan semua obrolan ngalur ngidul, hingga curahan hati yang mereka utarakan satu sama lain disetiap sorenya.
Semakin dekat mereka bersama. Walau hanya sekedar saling sapa dan obrolan singkat di kedai kopi Rena. Hingga mereka tidak sadar, rasa nyaman itu muncul perlahan pada mereka. Rasa bahagia ketika kedua manusia yang saling bertemu untuk sekedar melepas lelah. Rena sudah menemukan hal itu, tapi Mura, masih menjaga hatinya untuk Nuyi, sepenggal kisah kasih yang bertepuk sebelah tangan. Rena mengetahui hal itu, berulang kali Rena membujuk Mura agar tidak terobsesi pada Nuyi yang sudah punya dunianya sendiri. Tapi dasar Mura, hatinya tak sampai untuk mendengarkan Rena yang dengan ikhlas mengingatkannya. Bukan untuk memiliki Mura, bukan pula untuk merebut hatinya Mura. Tapi untuk perasaan Mura yang terbebas dari hati yang terkurung, terkekang resah pada Nuyi. Hatinya tetap kukuh pada Nuyi, tapi Rena tidak pernah menyerah, perlahan dia mengikis perasaan Mura pada Nuyi, dengan sabar dan telaten. Entah sampai kapan, tapi hati Rena berkata hanya dia yang bisa membebaskan Mura.
Tapi sore itu Rena termenung, empat hari ini Mura tak kunjung datang ke kedainya. Hatinya gundah. Perasaan takut menepi di hatinya. Rasa cemas yang teramat dalam karna Mura tak kunjung datang. Perasaan itu yang membuat Rena tergerak untuk mendatangi Mura malam nanti.
Tanpa disadari, rasa Rena terhadap Mura terus mendalam. Hati Rena harus mengakui bahwa rasa itu telah berubah semenjak pertemuan pertama mereka. Rasa cinta kini tertanam dalam menusuk hati Rena. Itu sebabnya, Rena sepeduli itu terhadap Mura. Rena sekhawatir itu pada Mura. Dan, pada akhirnya hati Rena ingin memiliki Mura.
Kasih tak sampai Mura pada Nuyi, kini terasa pada Rena kepada Mura. Hatinya gusar untuk tetap mengagumi Mura dalam diam.
Hari terakhir sebelum Mura menghilang, Mura berjanji akan memperbaiki perasaannya, akan mencoba melupakan Nuyi dan mulai menata hati untuk kehidupan yang baru. Perkataan itu membuat Rena berbunga. Seakan terhembus angin segar dalam hatinya. Tentang perasaanya kepada Mura.
***
Malam itu Rena menutup kedai lebih awal. Niatan Rena untuk menemui Mura adalah puncak kecemasannya pada Mura. Sepanjang jalan Rena hanya bisa cemas, rasa gundah seakan terus menemani Rena.
Setibanya dikosan Mura, tempatnya terlihat sepi. Didepan pagar, Rena disambut seorang bapak yang menghadangnya.
"Maaf, nona cari seseorang?" Suara bapak paruh baya mengagetkan Rena yang celingukan mencari kamar Mura dari luar pagar.
"Maaf pak, apa benar ditempat ini ada yang bernama Mura?" Rena bertanya dengan senyumnya, namun berbeda dengan senyum Rena seperti biasanya.
"Mohon maaf, nona yang bernama Rena?" Tanya bapak itu.
"Betul, saya Rena, saya hendak bertemu Mura." Jawab Rena.
"Ahh, benar anda yang kita cari. Sebelumnya saya minta maaf yang teramat dalam, saya tidak tahu siapa nona, dan saya tidak terlalu dekat dengan saudara Mura. Tapi saya harus menyampaikan ini. Saudara Mura sudah berpulang, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Oveedosis." Jelas si bapak.
Rena terdiam membeku. Seperti disambar petir disiang bolong, hati Rena hancur berkeping-keping, berantakan. Air mata jatuh bercucuran dipipinya yang memerah. Tak ada kata yang bisa diucapkan. Kakinya lemas, tak bisa bergetar tak bisa bergerak.
"Maaf nona, saya harus menyampaikan berita duka ini. Dan, mendiang menyampaikan secarik surat yang menyinggung nama nona. Maka dari itu saya langsung tau nona yang bernama Rena, orang yang kita tunggu-tunggu." Sambung si bapak.
Bapak itu memberikan secarik surat kepada Rena yang masih mematung. Tangisnya mendampingi surat yang tak kuat untuk Rena baca. Akhirnya Rena berpamitan dan melangkah pergi menjauh dari tempat itu. Tempat yang baru pertama kali dia datangi, namun menjadi tempat paling terburuk dalam hidupnya Rena. Tak mampu Rena menanyakan dimana Mura dikebumikan, hatinya teramat sakit. Tak bisa mencerna semua ini. Sambil berjalan dengan susah payah, Rena melangkah tanpa tujuan. Hatinya masih menangis, tangannya masih menggenggam secarik kertas itu. Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, Rena memberanikan diri untuk membaca 'surat terakhir dari Mura'. Isak tangis Rena semakin menjadi-jadi. Rena membaca kata perkata hingga selesai. Dengan sekali nafas, Rena menyudahi membacanya, mengeluarkan korek gas yang dia bawa dan langsung membakar surat itu. Matanya kini terfokus, Rena menatap kedepan dan berjalan dengan sedikit bertenaga. Tangisnya telah usai.
"Dear Rena,
Maafkan aku karena harus melakukan ini. Tubuhku yang ringkih ini tak sanggup lagi untuk menahan beban yang menghantuiku. Pikiranku sudah tak mampu lagi untuk berpikir. Hanya hatikulah yang tersisa untuk terlihat teguh.
Rena, engkau sangat tahu bawa aku telah mencintaimu. Sorot mataku ketika berbincang denganmu seraya mengisyaratkan perasaan hatiku untukmu. Semoga kamu mengerti itu.
Sekali lagi aku minta maaf. Aku tak sanggup untuk memilih hidup bersamamu. Walaupun kamu tahu aku bisa lakukan itu. Tapi hatiku terpaut sangat jauh untuk bisa melupakan wanita brengsek itu. Aku tak mau kisah kita ternodai karna aku masih menaruh luka pada dia. Aku tak mau sucinya cintamu dibalas dengan kepura-puraanku dihadapanmu. Walaupun kamu tahu bahwa aku telah mencintaimu.
Rena, teruslah lalui harimu dengan kegembiraan. Sebarkan senyum indah itu kepada semua orang yang kamu temui. Biarkan rasa cinta padamu aku bawa pindah ke alam lain. Biarkan aku mati dalam keadaan mencintaimu. Setidaknya hanya aku yang akan terus mencintaimu dalam diamku, hanya aku yang akan terus mengingatmu dalam matiku.
Teruslah hidup, berjalanlah sesuai dengan apa rencanamu. Karna kamu tahu ketika kamu merasa seisi dunia tak ada yang mencintaimu, ada aku yang setia mencintaimu di alam kuburku.
Tetap jaga hidupmu, jangan sia-siakan hari-harimu.
Rena, aku mencintaimu.
Mura."
Malam itu Rena mengerti. Bahwa cinta Mura padanya akan abadi. Meski Rena akan menjalani hari dengan sepi, sunyi. Sendiri.