Rabu 28 September 2011, petang itu saya sudah bersiap untuk memulai petualangan yang mungkin biasa saja bagi para pendaki gunung. Tidak terlalu banyak perlengkapan yang saya bawa untuk perjalan mencari curug yang hilang. Awalnya ketika saya dan teman saya Vito sedang mengitari daerah pegunungan di pesisir bandung untuk mencari sunset. Saya menggunakan sepeda motor bersama vito, asalnya sih iseng aja cari-cari spot yang bagus di daerah kota bandung, sekalian saya memperdalan ilmu saya pada kamera D-SLR saya. Berangkat menuju daerah caring tilu (yang kini jadi tempat untuk muda-mudi memandu cinta, haha..), jalan yang ditempuh bar pertama kali saya lewati, pasir honje keatas terus. Dan akhirnya saya menemukan sebuah lapang (kalo ga salah itu bekas sawah) di daerah caringin tilu. Kita diam sebentar dan sunsetpun hadir dengan keindahan yang tak pernah saya bosan untuk mengaguminya. Singaktnya kita sudah puas mengabadikan sunset, lalu pulang dengan jalur yang tadi. Saat perjalanan pulang vito bercerita tentang pengalaman masa kecilnya, “tah mun mengkol kadieu jalan ka curug pey” ucap vito sambil menunjukan arah jalannya.
“ aslina didieu aya curug to ?” jawab ku dengan sedikit penasana .
“aslina pey, tapi baheula pas urang leutik keneh, teuing aya keneh teuing eweh ayeunamah” . balas vito .
Terbersit di fikiranku untuk mencoba mencari curug yang entah masih ada atau tidak itu.
“urang teangan we yu ah to ? maneh libur iraha ?” Tanya ku.
“kemis paling, mun erek berangkatna pagi, peutingna maneh sare teun urang weh, kumaha ? usul vito .
“hayu atuh mun kitu mah” balasku
Dan malam inipun saya bersiap di rumah vito, perjalanan kali ini kami bertiga, bersama fadli. Kami habisakan malam ini dengan berbagai candaan dan guyonan yang biasa kami lakukan ketika waktu luang. Tak terasa waktupun menunjukan pukul 04.00 pagi, kami bersiap untuk melakukan perjalanan, perjalanan pertama kami masih melewati jalan aspal yang mulus namun menanjak, kami terus berjalan sambil diiringi adzan subuh yang berkumandang di masjid-masjid sekitar, sedikit merinding sih tapi cueklah kami masih di daerah pemukiman . sekitar 2 KM kita berjalan sudah jarang terlihat rumah, jalan sudah bukan aspal, beton, rusak, disekitarpun sudah jarang rumah, kebanyakan pohon, bambu pula (alamak), kita teruskan perjalanan. Kami lupa membawa senter, kita hanya mengandalkan cahaya senter dari hp vito yang benar-benar redup. Sekitar pukul 05.00 kami tiba di belokan yang menurut vito jalan menuju curug, kita beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan dahaga karna kami berjalan cepat (karna jalannya masih bisa dipakai jalan cepat). Sembari istirahat fadli member usul, “ gimana kalo kita cari sunrise dulu ? soalnya kalo keatas masih gelap uy”. Kamipun akhirnya memutuskan untuk mencari tempat yang pas untuk dapat sunrise. Kami lajutkan perjalanan untuk mencari sunrise dulu, jalur kamu berlawanan dengan jalan curug. Sepanjang perjalanan saya mencium bau wangi khas pedesaan, dan bau wangi dari kotoran-kotoran sapi yang khas, saya benar-benar menikmati perjalanan kali ini. Sekitar 1,5 KM kami berjalan, kami dibingungkan dengan jalan yang bercabang-cabang, lucunya kami belok ke satu jalur, kami lewati kebun yang entah kebun apa (gelap sih) dan pada saat kami berbelok dan masuk ke jalur jalan setapak, saya menoleh ke belakang dan ternyata kami hanya memutar jalan yang lebih jauh dan berpasir (karna ladang) yang seharusnya bisa dilewati dengan cepat, haha..
Sekitar pukul 05.47 kami tiba disebuah lapang sepak bola yang masih tanah merah kumplit dengan gawangnya di kedua sudut lanpang yang katanya sih itu lapang cartil (jujur, saya ga tau). Kami beristirahat sambil menunggu sang mentari terbit di ufuk timur. Di ujung timur ke kiri sedikit saya sudah terlihat mega berwarna merah kuning ke orenan (binggung gat uh gimana warnanya ? haha), saya mulai menyeting kamera saya, dan saya mengabadikan beberapa gambar. Sayapun kembali beristirahat sembari bercanda dengan kedua teman saya yang saya rasa aga kurang waras itu (haha,, demi alloh heureuy). 15 menit kami menunggu matahari terbit, tapi matahari belum juga menampakan diri, saya mulai resah, saya lihat disekeliling saya dan bertanya-tanya, “ini mendung atau embun”, saya takut tak akan dapat sunrise pagi ini, benar-benar resah. Setelah lama kami menunggu akhirnya kami akhiri penantian ini sia-sia ini, kami beranjak turun untuk mencari curug. Hati saya benar-benar kecewa saat itu. dan ketika kami berjalan beberapa langkah, saya medumel “ah an*ing teu meunang to euy sunrisena” serentak vito pun memalingkan wajahnya kearah saya dan vitopun berkata dengan sedikit teriak, “an*ing pey, tingali itu kabelah ditu”, saya kaget dan saya memalingkan wajah saya kesisi yang berlawanan dengan vito, dan WAW !! matahari akhirnya menunjukan dirinya dengan keindahan dipagi hari. Saya langsung tersenyum dan mengambil kembali kamera saya yang sudah saya kemasi dalam tas. Saya setting lagi dan saya puas-puaskan diri untuk mengabadikan kemunculan sang surya dipagi hari itu. Demi allah-lah sangat teramat indah pemandangan yang saya temui pagi itu. hati saya gembira, puas semua bercampur. Sayapun tak bosan-bosannya mengabadikan kehadiran sang surnya di kamera saya.
Setelah saya sangat-sangat puas mengambil fenomena alam yang indah ini kamipun melanjutkan perjalanan untuk kembali ke jalur pencarian curug. Kali ini sudah terang, sembari jalan saya menikmati pemandangan yang benar-benar indah, terlihat semua kota bandung dari sini, saya terus tersenyum selama perjalanan, memang indah bandung saat dipagi hari, seperti kota mati yang tetap terawat bangunannya.
Sesampainya dibelokan jalan menuju curug kami tidak beristirahat, kami kebut perjalanan kami karna waktu sudah mulai siang. Rute perjalanan ini jalan setapak, mulai masuk kebun-kebun penduduk. Sekitar 15 menit kami berjalan, kami temukan sungai kecil di pinggir jalan setapak, mulai dari situ kami mengikuti aliran sungai yang tentunya berlawanan. Tak lama kami mengikuti sungai kecil itu kami mulai mendengar suara gemercik air, aga bergegas kami berjalan karna sudah tak sabar ingin mengetahui apakah curug itu masih ada atau tidak, bahkan sampai lari. Dan yah !! curug itu masih ada, kami sudah tiba di tempat tujuan kami, memang sih airnya kecil, benar-benar kecil, bahkan bisa disebut curug mini. Tapi saya amati disekitar, tebing yang dialiri air kecil itu sangatlah besar, ini menandakan jaman dulu curug ini berarus besar, mungkin. Sampahpun masih jarang saya temui disini, bahkan tidak ada (tidak seperti curug-curug yang sudah menjadi objek wisata, kotor, tak terawatt, sangat kecewa saya). Sayapun mengabadikan beberapa gambar di curug itu, sedikit membasuh muka untuk menyegarkan diri karna airnya masih benar-benar segar. Saya benar-benar sangat puas hari ini, walau saya lemas, semua terobati dengan semua yang saya lihat dipagi hari ini. Tuhan memang seniman yang sangat handal, semua ciptaannya hari ini membuat saya takjub dan melamun. Setelah puas saya mengabil gambar dengan kamera saya, setelah saya puas bermain air, kamipun bersiap untuk pulang.
Tidaklah saya amati saat perjalanan pergi tadi, disekitar curug ternyata ada berpuluh-puluh selang air yang panjang yang mungkin bermuara di bak-bak mandi warga sekitar. Saya sedikit kecewa melihat keadaan ini. Saya sempat melamun, “kenapa keindahan ini harus dirusak ?”. tapi saya berfikir lagi mungkin mereka tidak salah, tuhan menciptakan alam untuk kita manfaatkan. Kejadian ini yang membuat kegembiraan saya dipagi ini sedikit berkurang. Namun kekecewaan itu terobati, ketika dijalan pulang saya melihat fenomena yang mungkin sudah jarang bahkan saya tidak temukan di tempat tinggal saya. Puluhan robongan anak-anak berseragan putih merah berjalan kaki di depan saya, mereka tertawa, bercanda dengan senangnya dipagi itu, sungguh sangat mengingatkanku saaat masa kecilku dulu. Disisi yang lain para ibu sedang asik merumpi di warung-warung pinggir jalan sembari berbelanja, saya dengar mereka bercerita semua macam hal, saling berteriak, namun tetap saling tersenyum. Sisi satunya lagi para bapa ada yang sedang sibuk mengambil rumput yag mungkin untuk pakan ternaknya, ada yang sedang sedang membersihkan tandang ternaknya, ada pula yang sedang memerah susu. Memang disekitar sana mayoritas warga beternak sapi. Sungguh sangat-sangat indah keadaan seperti ini. Saya iri, sudah tidak ada hal seperti ini di daerahku. Ternyata dibandung masih ada suasana seperti ini, dari keindahan alamnya, warganya yang masih saling “say hay” antar tetangganya. Benar-benar perjalan yang indah yang saya temukan kali ini.