Selasa, 15 September 2020

Senja di Ujung September

 

Sore itu aku termenung, mengingat semua yang telah terjadi. Di bibir tebing pantai ujung selatan pulau ini, mataku menatap senja. Namun kosong. Di sini, di ujung September ini, aku merasakan penyesalan yang teramat dalam. Penyesalan yang entah bisa aku tebus atau tidak. Rasa sakit menjalari tubuhku. Sangat sakit. Menjadi peringatan untukku, hidup tak bisa sendirian. Banyak kasih sayang yang aku lewatkan. Semua orang yang mencintaiku aku abaikan. Banyak momen yang terlewatkan, hingga aku dilupakan, karena keegoisan.

Setahun lalu menjelang akhir masa SMA-ku, setelah lulus aku bersikeras untuk pergi ke ibu kota. Impian yang pasti terbersit di setiap khayalan remaja seumurku. Pikirku ibu kota adalah tempat di mana orang-orang terkenal berada. Hidup mewah, bergelimang harta, dan bebas. Aku ingin ke sana. Aku mau jadi salah satu bagian dari kemewahan itu. Saat itu, mimpi itu merupakan hal yang wajar, menurutku. Aku harus pergi, meninggalkan semua orang yang menyayangiku.

Setelah kelulusan sekolah, aku meminta izin kepada orang tuaku untuk pergi ke ibu kota. Mereka melarang. Katanya ibu kota adalah kota yang kejam, kota yang penuh dengan persaingan, entah itu sehat atau tidak. Biaya hidup juga sangat mahal, terlebih jika kita tidak punya kenalan, ibu kota akan menjadi hutan rimba penuh binatang buas yang siap menerkam kapan saja, dengan semua hukum rimbanya. Aku tetap bersikeras untuk pergi. Akhirnya perdebatan besar tidak bisa terhindarkan. “Kamu tidak bisa hidup di sana, biaya hidup di sana mahal, Bapak tidak sanggup membiayai hidupmu di sana,” kata Bapak. Saat itu aku lupa, kalau orang tuaku hanya hidup bergantung pada sawah yang hanya beberapa petak. Hidup kami di sini pun terbilang pas-pasan.

Sejak perdebatan itu, aku dan Bapak tidak akur. Aku terus memaksa untuk pergi, namun Bapak masih melarang. Hingga suatu malam, aku berdebat lagi dengan Bapak dan membentaknya. Aku lari ke kamar, aku membanting pintu. Dengan emosi dan amarah yang masih memuncak, di balik pintu kamarku aku mendengar ibu berbicara kepada Bapak, dia menangis. Entah apa yang mereka bicarakan. Nada Bapak sedikit tinggi, Ibu hanya menangis. Akhirnya aku tahu belakangan, malam itu Ibu berusaha membujuk Bapak untuk mengizinkanku. Ibu sampai rela menjual sisa terakhir hartanya. Beberapa gelang, kalung, dan sepasang anting emas pemberian Bapak akan Ibu jual untuk bekalku. Malam itu Bapak luluh, entah apa bujukan yang Ibu berikan untuk meluluhkan hati Bapak. Siangnya aku dipanggil. Aku diizinkan merantau ke ibu kota. Namun dengan syarat, Bapak akan menemaniku hingga aku mendapatkan tempat tinggal.

Aku senang bukan main, tapi Bapak dan Ibu tidak. Aku bisa merasakannya hanya dengan melihat mata mereka. Akhirnya awal September tahun lalu aku pergi ke ibu kota, diantar Bapak. Setelah mendapat tempat kos yang lumayan murah, Bapak hanya menginap semalam, lalu pulang. Sebelum pulang Bapak berpesan, “Kalau kamu tidak nyaman di sini, telepon Bapak. Bapak akan menjemputmu.” Kosku berada di pinggiran kota, luasnya hanya tiga kali tiga meter. Di dalamnya terdapat lemari baju dan kasur beralas tikar. Memang sangat sederhana, namun aku tidak peduli, ini titik awalku untuk mengubah nasib, pikirku waktu itu.

Minggu-minggu pertama, aku sibuk mencari pekerjaan. Tidak ada yang aku kenal, aku hanya mengelilingi kota. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku hanya bepergian tanpa arah mencari pekerjaan. Uang bekal dari Bapak sudah semakin menipis. Aku khawatir tidak cukup sampai akhir bulan. Namun waktu aku pulang, tetangga kosku memberitahu kalau di dekat tempat kerjanya ada yang sedang mencari pegawai sebagai pelayan toko baju. Tokonya ada di sebuah mall besar di pusat kota. Tanpa pikir panjang aku terima ajakan teman kosku itu. Besoknya aku berangkat bersama temanku menuju mall itu, aku diterima. Kontrak kerjaku hanya enam bulan dan gajiku hanya cukup untuk membayar kos sebulan, makan, dan ongkosku menuju tempat kerja selama dua minggu. Namun, ini awal untuk mengubah hidupku, pikirku waktu itu. Hingga akhirnya untuk menutupi kebutuhanku yang lain dan menyambung hidup, aku merengek meminta tambahan bekal kepada Bapak, setiap bulan.

Tiga bulan aku bekerja di mall itu. Aku mulai didekati seorang pria. Dia terlihat baik, berparas lumayan, dan bertubuh tinggi kekar. Kata Ibu wajahku  ayu, kulit kuning langsat, tidak terlalu tinggi, namun berisi. Aku berdarah campuran Jawa dari Bapak dan Sunda dari Ibu. Mereka merantau menyebrangi pulau saat menikah. Dan aku terlahir di pulau itu, pulau yang terpisah jauh dengan ibu kota.

Pria itu bernama Adri. Awalnya dia baik, sampai akhirnya aku terlena dan kami menjadi sepasang kekasih. Adri mempunyai motor dan dia mengantar jemputku. Aku bisa menghemat ongkos saat itu. Di bulan pertama pacaran aku sangat bahagia. Sampai masuk bulan kedua, gelagat Adri sudah mulai tidak masuk akal. Dari mulai tubuhku yang dia minta, sampai akhirnya tidak jarang dia memintaku untuk membeli barang-barang yang dia inginkan. Dengan gajiku yang pas-pasan tentu saja aku menolaknya. Namun, kejadian waktu itu, ketika pertama kali dia meminta tubuhku dengan manisnya, tanpa aku sadari dia merekamnya. Itulah senjata dia untuk meminta sesuatu kepadaku. Jika tidak dikabulkan, video itu akan sampai pada orang tuaku dan akan disebarkan. Aku tidak punya pilihan lain, selain mengabulkan keinginannya. Tentu saja dengan merengek pada orang tuaku, karena gajiku tidak cukup.

Dari Adri pula aku mengenal asap rokok, minuman keras, dan dunia gemerlap malam dengan semua kelamnya. Ketika kami pergi ke dunia malam, tentu saja aku yang harus membayar semuanya. Hampir setiap malam Minggu dia memaksaku untuk pergi bersenang-senang. Adri juga sudah jarang mengantar jemputku. Hanya malam Minggu dan malam-malam saat dia bernafsu, dia akan datang ke kosku. Sisanya, aku berjuang sendiri. Pernah terpikir untuk meninggalkannya, tapi video itu menahanku. Tak jarang, tangannya pun begitu ringan memukulku.

Lima bulan bersama Adri adalah waktu yang sangat berat bagiku. Hanya tangis di setiap malam yang menemani kesendirianku. Pernah terpikir untuk pulang, namun rasa malu menghalangiku. Setidaknya harus ada yang bisa aku bawa pulang, begitu pikirku. Ku kira kejahatan Adri hanya sampai pada video rekaman itu. Ternyata tidak. Pernah satu malam, modus dia adalah merayakan enam bulan hubungan kami. Dia membawaku ke salah satu tempat karaoke. Di salah satu room, ketika kami masuk sudah ada tiga orang lelaki, temannya kata dia. Di sana mereka bersenang-senang. Aku tidak. Mereka terus memaksaku untuk minum sampai aku mabuk, benar-benar mabuk. Sampai aku tidak sadar. Paginya, ketika aku terbangun, aku berada di sebuah kamar hotel yang cukup mewah. Di sampingku ada salah satu teman Adri. Aku telanjang. Aku menangis histeris. Sampai temannya terbangun dan menceritakan semuanya. Adri menjualku. Kepada ketiga temannya itu. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupku hancur, benar-benar hancur. Malam itu adalah malam terakhir aku melihat Adri. Dia hilang, entah ke mana.

Sejak kejadian itu aku hidup penuh rasa malu, sangat malu. Aku malu pada diriku sendiri. Keegoisanku membawa semua malapetaka ini. Aku menyesal. Sangat menyesal. Aku malu untuk menghubungi orang tuaku. Kini aku hidup menyendiri, tertutup kepada semua orang. Kosku pindah. Tempat kerjaku pun pindah. Aku menghilangkan semua jejak masa kelamku.  Terpikir olehku untuk pulang, tapi tidak cukup uangku untuk sampai ke rumah. Aku menunggu gajiku keluar di tempat kerja baruku. Ku kira itu cukup untuk bekalku pulang. Sebenarnya aku memegang beberapa juta. Tapi uang itu pemberian teman Adri. Aku tak mau memakainya sepeser pun.

Dua Minggu setelah kejadian itu, aku mulai memberanikan diri menghubungi orang tuaku. Sekadar untuk menanyakan kabar dan meminta maaf kepada mereka karena telah menyusahkan mereka selama ini. Tapi malam itu, nomor Bapak tidak aktif. Aku berprasangka baik. Mungkin baterai hp Bapak habis dan dia lupa mengisinya. Di rumah hanya Bapak yang memegang telepon genggam. Tidak ada nomor lain yang bisa aku hubungi. Hingga beberapa hari Bapak masih tidak bisa dihubungi. Aku mulai resah. Aku tidak tahu bagaimana kabar mereka di sana. Akhir  September ini aku harus pulang, dengan uang yang sebenarnya tidak ingin aku gunakan. Aku terpaksa.

Malam itu aku pulang. Dengan perasaan tak karuan. Perjalanan berjam-jam pun terasa sangat panjang. Aku sampai di depan rumah. Dengan menghela napas panjang, aku mulai melangkah masuk ke halaman. Aku mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Beberapa kali. Tetap tidak ada jawaban. Aku menengok lewat jendela samping rumah. Alangkah kagetnya aku melihat rumahku kosong, tak ada satu pun  barang. Aku berusaha mencari Ibu dan Bapak. Aku panik, kebingungan. Sampai akhirnya ada tetangga memberitahuku. Dia bercerita. Akhir-akhir ini orang tuaku berperilaku aneh, mereka menjual satu per satu barang yang bisa dijual di rumahnya. Bahkan sawah dan rumah pun turut mereka jual. Sampai akhirnya beberapa Minggu kemarin ada dua orang laki-laki datang ke rumah. Besoknya,Ibu dan Bapak tak terlihat lagi.

Hatiku benar-benar hancur. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Waktu terasa berhenti. Aku tidak tahu harus mencari mereka ke mana. Saudara pun aku tak tahu, aku lahir di tanah rantau. Orang tuaku pun tak pernah menyinggung keluarga mereka. Aku mencari ke setiap sudut kota ini. Namun mereka tidak ada. Entah harus mencari ke mana lagi. Sampai akhirnya aku terdampar di ujung pantai kota ini. Hanya bisa terduduk kaku menatap langit senja. “Ibu, Bapak, di mana kalian? Aku minta maaf. Aku rindu kalian. Aku tidak ingin ke ibu kota. Aku hanya ingin kalian. Melihat kalian lagi. Hidup bersama kalian lagi. Maafkan aku Bapak, Ibu. Aku menyesal. Benar-benar menyesal.”

Kata-kata itu terus berteriak di kepalaku. Hidupku sudah habis. Aku tidak pernah tahu kalau kepergianku menjadi malapetaka bagi aku dan keluargaku. Egoku menjadikanku hidup sendiri. Impianku terlalu tinggi. Harapanku terlalu melambung jauh. Aku tidak akan pernah berharap lagi. Aku menyesal karena silau melihat kehidupan orang lain, milik orang lain. Sampai aku lupa kalau aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Aku harus menghargai orang-orang yang menyayangiku. Aku harus bisa menerima semuanya. Tapi semua terlambat. Sekarang tinggal tebing, pantai, senja, dan sisa akhir waktuku. “Maafkan aku. Bapak, Ibu, aku sayang kalian.” Sekaranglah akhir waktuku, dengan sisa tangis dan tenagaku.



Senin, 27 Juli 2020

Namaku, Supernova

        Namaku Supernova. Aku biasa dipanggil Nova. Aku lahir dan besar di ibu kota salah satu provinsi bagian barat Pulau Jawa. Usiaku menuju 17. Kata orang aku cantik. Tapi itu tidak membuatku bahagia. Kadang aku merasa wajahku adalah kutukan. Sering kali aku merasa tidak nyaman saat banyak mata laki-laki yang bahkan tidak aku kenal melihatku, dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Aku tumbuh dan dibesarkan ibuku. Ya, hanya ibu. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Ibu pun tidak pernah bercerita tentang itu. Pernah suatu hari aku bertanya. Tapi ibu hanya menjawab, “Kamu tidak perlu tahu.” Aku hidup dan tinggal di kota besar. Tapi entah kenapa aku tidak pernah bisa menikmati indahnya kota ini. Aku hanya bisa menikmati keindahan kota dari dunia maya lewat ponsel pintarku. Aku dapat ponsel itu dari ibu, lima tahun lalu. Aku merasa terpenjara. Di sini, di gang sempit yang sesak. Gang sempit yang katanya terkenal. Ya, gang ini punya banyak julukan, yang paling terkenal adalah “pesantren”. Banyak orang yang tidak asing dengan istilah “pesantren” di kotaku. Rumahku tepat di belakang “pesantren” itu.

Kata ibu, aku lahir dibantu dukun beranak, di rumah yang sampai saat ini aku tempati. Rumah yang entah milik siapa, katanya sih semacam mess. Ibuku bekerja tidak jauh dari mess, hanya berjarak tiga rumah tepatnya. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu apa pekerjaan ibuku. Aku pun tidak peduli. Aku ingat betul, aku bisa bermain bebas seharian dengan teman-teman sebayaku tanpa ada yang melarang. Aku merasa masa kecilku membahagiakan. Meskipun aku jarang bermain dengan ibu, banyak orang yang menemaniku dari kecil. Dulu, yang aku tahu mereka adalah teman kerja ibu, yang kebetulan sedang libur, dan bisa menemaniku bermain. Aku menganggap mereka kakakku sendiri. Tidak jarang aku tidur malam ditemani mereka, saat ibu kerja malam.

Semua terlihat begitu indah saat itu. Aku ingat, dari kecil ibu membebaskanku bermain dengan siapa pun. Hanya satu hal yang tidak boleh aku lakukan, pergi bermain keluar jauh dari gang rumah. Padahal gang rumahku sangat sempit, kalau ada motor lewat berpapasan, salah satu harus ada yang mengalah mundur. Gang-gang di sekitar rumahku seperti labirin, banyak belokan dan gang buntu. Bahkan sekolah dasar dan sekolah menengahku masih di sekitar gang dekat rumah. Begitulah, aku tidak pernah tahu bagaimana dunia di luar sana. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku bahagia, aku bermain dengan ceria, saat itu.

Semua berubah, saat aku hampir lulus sekolah menengah. Ketika aku selesai ujian akhir, seperti biasa aku berjalan menuju mess ibu yang sudah aku anggap rumah. Tidak jauh, sekitar 10 menit aku berjalan. Sesampainya di depan rumah, ibu sedang berbincang dengan seorang lelaki paruh baya. Itu Om Wili. Om Wili orang yang baik. Katanya dia bos ibuku. Sering aku mendapati ibu sedang bertelepon dengannya, minta bantuan biaya sekolah. Dari situ aku tahu, beberapa kali uang SPP ku dibayarkan Om Wili.

Aku mengucapkan salam. Tatapanku tertuju pada mata ibu yang sembab, terlihat seperti habis menangis. Aku segan untuk bertanya. Akhirnya aku hanya menyalami Om Wili dan berniat naik ke lantai dua, ke kamarku. Tapi langkahku ditahan Om Wili, katanya dia ingin bicara. Aku pun menurut lalu duduk di antara mereka. Aku melihat ibu tertunduk, lalu terdengar senggukan. Ibu menangis lagi. Mataku beralih pada Om Wili yang mulai berbicara, katanya aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Setelah lulus nanti, aku harus mulai bekerja, seperti ibu. Aku tersentak, kaget bukan main. Aku tahu profesi ibu. Ya, ibuku seorang PSK. Hatiku terkoyak saat itu. Aku berusaha menolak tawaran Om Wili. Segala alasan aku berikan. Tidak satu pun yang diterima. Aku terus menolak, tapi sia-sia. Katanya, ibu telah berutang banyak pada Om Wili, termasuk biaya hidupku selama ini. Kalau aku tidak ingin seperti ibu, aku harus membayar. Ya, membayar biaya selama aku hidup. Aku tidak sanggup. Aku yakin ibu pun tidak. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku. Matanya berair. Aku berlari menuju kamarku. Aku menangis. Tidak ada jalan lain, aku harus seperti ibu.

Hari itu, aku tidak berhenti menangis. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak mau melakukannya. Aku bingung. Aku berpikir untuk lari. Tapi sejak hari itu, tiga orang lelaki berbadan kekar bergantian menjaga rumahku.

Tibalah hari pertama aku bekerja. Sore itu, sekitar pukul lima sore aku dibawa ketiga pria kekar itu ke tempat biasa ibu bekerja. Saat sampai di sana, aku bertemu beberapa perempuan yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Mereka menatapku nanar, penuh kasihan. Aku disuruh mandi, mereka mulai mendandaniku. “Ini lingkaran setan, Nova,” kata salah satu dari mereka, “tidak pernah ada yang bisa keluar dari sini.” Aku hanya bisa diam, aku takut. Aku sangat takut.

Aku berganti pakaian, dengan blus pendek berwarna merah cerah. Lalu aku diantar keluar, duduk di ruang depan dengan beberapa orang gadis yang juga sudah berdandan cantik. Ruangan itu berukuran sekitar empat kali empat meter, ada kursi panjang di ketiga sisi dindingnya. Di tengah ruangan ada satu meja panjang, di atasnya ada beberapa tas kecil, asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok, dan beberapa botol minuman ringan yang sudah tidak utuh. Satu-satunya sisi ruangan yang tidak ada kursi adalah bagian pintu. yang di sampingnya berdinding kaca. Aku merasa seperti ikan di akuarium.

Malam semakin larut, mulai terlihat banyak orang melewati akuarium kami. Kebanyakan dari mereka laki-laki yang berjalan bergerombol, tiga atau empat orang, ditemani seseorang yang tampak seperti “guide”. Setiap orang yang lewat, mereka berhenti, melihat kami satu per satu, seperti memilih. Saat ada salah satu dari kami yang terpilih, “guide” itu mengajak kami yang terpilih untuk keluar. Semakin lama aku di sana, rasa takut semakin menusuk. Lututku bergetar. Berjam-jam aku merasakan itu. Detak jantungku tidak tenang. Hingga akhirnya aku melihat Om Wili masuk diikuti seorang lelaki paruh baya.

Mereka tersenyum saat melihatku. Aku lalu menunduk. Tubuhku semakin bergetar. Kakiku lemas. Aku takut. Mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bahas. Om Wili memanggil dan menarik lenganku. Kami keluar dari akuarium menuju ke sebrang. Hanya berjarak dua langkah dari akuarium, kami masuk ke sebuah bangunan. Bangunan ini tinggi, ada beberapa lantai, bentuknya seperti kos-kosan dengan banyak kamar. Kami naik ke lantai tiga. Om Wili hanya mengantarku sampai di depan salah satu kamar. Mereka berbisik lagi. Om Wili mendorong punggungku pelan ke dalam kamar yang remang, diikuti lelaki paruh baya itu. Di dalam gelap. Hanya ada satu tempat tidur besar, satu meja kecil dengan lampu tidur di atasnya, dan kamar mandi tanpa pintu. Aku hanya mematung di belakang pintu. Hingga akhirnya aku ditarik dan dijatuhkan ke atas tempat tidur. Itulah pertama kali aku melakukannya, dengan cara dipaksa dan kadang disiksa. Aku sudah tidak perawan.

Sejak hari itu, aku terpaksa harus terus bekerja. Kadang siang, kadang malam. Setiap hari aku menemani lima sampai tujuh lelaki, kebanyakan dari mereka lelaki paruh baya, meskipun ada juga para pemuda tanggung. Kata mereka aku cantik. Banyak yang kembali dan menjadi pelangganku. Aku hanya libur saat aku sedang datang bulan. Dalam minggu itu aku tidak bekerja, sampai akhirnya masa haidku selesai dan aku harus kembali melayani.

Kalian tidak perlu tanya bagaimana perasaanku, hatiku sudah mati, tubuhku seperti sudah tak bernyawa. Harapan masa depanku sudah sirna bertahun-tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku dan ibu tidak pernah bertegur sapa, walau kami hidup seatap. Aku baru mengerti alasan ibu tidak pernah bercerita tentang ayahku. Aku paham, mungkin ibu tidak tahu lelaki mana yang menghamilinya. Kata teman-teman kerjaku, yang sudah kuanggap kakakku itu, ketika ibu hamil dulu, Om Wili meminta ibu melakukan aborsi. Tapi ibu menolak keras. Dia bersikukuh untuk melanjutkan kehamilannya. Entah harus bahagia atau sedih karena aku sudah terlahir. Yang aku tahu, sekarang aku hanyalah robot penghasil uang.

Beberapa tahun aku menjalani hidup yang gila ini. Menolak tidak bisa, menerimanya pun aku tak sudi. Entah sudah berapa lelaki hidung belang yang menikmati tubuhku. Sampai akhirnya tiba suatu malam, seorang pria muda datang dan memilihku. Kami berjalan menuju kamar yang biasa aku tempati, masuk, lalu aku mengunci pintu. Aku berjalan ke arah tempat tidur sambil sambil melepas kancing bajuku. Namun di kancing pertama pria itu menahanku, “Tidak usah dibuka, Mbak.” Pria itu menatapku. Aku pun menuruti permintaannya.

Dia duduk di tepi tempat tidur dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Dia meraih tas selempang dari meja, membuka resletingnya, lalu mengeluarkan sebotol kopi. “Mbak merokok?” dia bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. “Begini, Mbak. Saya sedang banyak pikiran, butuh teman ngobrol. Semua teman saya tidak ada yang bisa diajak bicara. Mereka hanya datang ketika saya senang, tidak ada saat saya sedang susah. Entah kenapa saya ke sini. Padahal saya cuma mau bercerita. Tidak apa-apa, Mbak?” Aku hanya termenung, mencoba mencerna apa yang dia maksud. “Saya tidak berniat melakukan itu, saya cuma mau Mbak mendengar cerita saya,” lanjut pria itu. Setelah aku cukup memahami maksud lelaki itu, aku mengangguk.

Dia pun mulai bercerita. Sambil mendengar ceritanya, aku berbicara dalam hati, “Ada ya, orang yang rela menghabiskan uang banyak hanya untuk ngobrol selama dua jam?” Jawabannya, ada. Dia adalah Fadli, pengusaha muda berumur delapan tahun lebih tua dariku. Dia datang ke sini karena usahanya hampir bangkrut. Dia ditingalkan teman-temannya dan datang ke sini. Dia hanya ingin berkeluh kesah. Aku hampir tidak mengerti apa saja yang dia katakan. Bahasa pengusaha aneh. Banyak istilah yang baru aku dengar. Hampir dua jam kami mengobrol. Aku terpaksa menyudahi obrolan itu. Aku takut orang di luar curiga, sudah hampir dua jam kami belum keluar. Dia pun mengerti. Kami mengakhiri obrolan dan dia berjanji akan kembali datang. Aku tidak peduli.

Tapi ternyata benar. Hampir seminggu sekali Fadli datang mengunjungiku. Setiap kali datang, dia hanya bercerita tentang dirinya. Lama-lama aku mulai nyaman mendengar ceritanya. Aku pun mulai berani bercerita tentang hidup dan masa laluku. Minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati. Tiba akhirnya pada satu malam, Fadli mengatakan bahwa dia ingin bicara dengan Om Wili. Aku sedikit takut. Aku tidak berani menjawab. Aku tahu betul Om Wili seperti apa. Tapi Fadli memaksa, aku pun menyerah.

Aku pertemukan mereka berdua. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya melihat dari jauh. Setelah lewat tiga puluh menit, mereka bersalaman. Fadli mendekat ke arahku sambil tersenyum. Dia mengusap kepalaku sambil berkata, “Minggu depan aku kembali, kamu jangan ke mana-mana.” Sambil tersenyum Fadli pergi belalu dari hadapanku dan hilang di ujung gang.

Aku masih melakukan rutinitas seperti biasa. Hingga pagi itu, ketika aku tengah bersiap untuk bekerja, seseorang memanggilku dan menarikku keluar. Di luar sudah ada Fadli, dia tersenyum, “Antar aku ke Om Wili.” Usai berdandan aku mengantar Fadli menemui Om Wili. Mereka berbicara kembali dan aku hanya melihat dari jauh. Mereka terlihat serius berbicara, tertawa, dan bicara lagi. Aku melihat Fadli menunjukkan layar ponselnya kepada Om Wili. Om Wili tersenyum lebar. Mereka berjabat tangan. Kali ini mereka berdua yang berjalan menghampiriku. Aku bingung, jantungku berdebar. Mereka berdua tersenyum, sambil menatapku. Om Wili mendekat dan memelukku, “Sekarang kamu bebas, Fadli membayarmu, dengan harga yang besar.” Aku kaget. Kaget bercampur malu dan bingung. Apa yang harus aku lakukan?

Fadli menarik tanganku, menggandengku. Dia membawaku keluar dari gang itu. Itulah kali pertama aku menyebrang jalan besar di ujung gang rumahku. Kami menaiki sebuah mobil. Aku tidak tahu ke mana Fadli akan membawaku.

Di dalam mobil hanya ada kami berdua. Aku tidak berani mulai bicara. Setelah beberapa lama kami saling diam, Fadli mulai bercerita. Dia menebusku karena dia menyayangiku. Aku kaget bercampur senang, jantungku berdebar cepat. Tapi perasaanku berubah saat Fadli melanjutkan ceritanya. Dia tidak bisa memilikiku, bulan depan dia akan menikah dengan calon istrinya. Hatiku tercabik. Pertanyaan mulai muncul di kepalaku, “Lalu, untuk apa dia membebaskanku? Mau di bawa kemana aku?” Tapi tidak ada kalimat yang keluar dari mulutku.

Seolah mendengar isi kepalaku Fadli melanjutkan ceritanya. Dia akan membawaku keluar kota, jauh diujung pulau ini. Katanya, di sana aku akan bekerja di sebuah pabrik milik keluarganya. Tempat tinggalku sudah disiapkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat bersyukur dan ingin berterima kasih. Tapi bibirku membisu. Aku hanya diam, menatap jalan di depan.

“Aku membebaskanmu karena aku menyayangimu, Nova. Tapi maaf, aku tidak bisa hidup bersamamu. Aku sudah dimiliki orang lain. Hiduplah dengan bebas. Jalani hidup sesukamu. Tidak ada yang mengekangmu lagi, mulai hari ini.” kata Fadli.

Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa, hatiku lega sekaligus sakit. Air mataku tumpah. Aku menangis.

“Terima kasih, Fadli. Kamu rela berkorban untuk kebebasanku, kamu ikhlas mengeluarkanku tanpa meminta apa pun dariku. Tapi hatiku sakit. Aku menyayangi kamu. Kamu orang baik. Tapi aku tidak bisa memaksakan apa pun. Terima kasih karena telah membebaskan aku dari nasib sekaligus mimpi burukku. Meski setelahnya aku harus kembali menerima nasib baru, harus melanjutkan hidup tanpa kamu, aku yakin itu berat. Selama hidup aku merasa tidak pernah melakukan hal jahat atau menyakiti orang lain. Semoga yang akan aku lakukan dalam hidupku nanti tidak menyakiti siapa pun. Aku akan menunggumu.”