Namaku Supernova. Aku biasa dipanggil
Nova. Aku lahir dan besar di ibu kota salah satu provinsi bagian barat Pulau
Jawa. Usiaku menuju 17. Kata orang aku cantik. Tapi itu tidak membuatku
bahagia. Kadang aku merasa wajahku adalah kutukan. Sering kali aku merasa tidak
nyaman saat banyak mata laki-laki yang bahkan tidak aku kenal melihatku, dari
ujung kaki sampai ujung kepala.
Aku tumbuh dan dibesarkan
ibuku. Ya, hanya ibu. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Ibu pun
tidak pernah bercerita tentang itu. Pernah suatu hari aku bertanya. Tapi ibu
hanya menjawab, “Kamu tidak perlu tahu.” Aku hidup dan tinggal di kota besar.
Tapi entah kenapa aku tidak pernah bisa menikmati indahnya kota ini. Aku hanya
bisa menikmati keindahan kota dari dunia maya lewat ponsel pintarku. Aku dapat
ponsel itu dari ibu, lima tahun lalu. Aku merasa terpenjara. Di sini, di gang
sempit yang sesak. Gang sempit yang katanya terkenal. Ya, gang ini punya banyak
julukan, yang paling terkenal adalah “pesantren”. Banyak orang yang tidak asing
dengan istilah “pesantren” di kotaku. Rumahku tepat di belakang “pesantren” itu.
Kata ibu, aku lahir
dibantu dukun beranak, di rumah yang sampai saat ini aku tempati. Rumah yang
entah milik siapa, katanya sih semacam mess. Ibuku bekerja tidak jauh dari mess,
hanya berjarak tiga rumah tepatnya. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu apa
pekerjaan ibuku. Aku pun tidak peduli. Aku ingat betul, aku bisa bermain bebas
seharian dengan teman-teman sebayaku tanpa ada yang melarang. Aku merasa masa
kecilku membahagiakan. Meskipun aku jarang bermain dengan ibu, banyak orang
yang menemaniku dari kecil. Dulu, yang aku tahu mereka adalah teman kerja ibu,
yang kebetulan sedang libur, dan bisa menemaniku bermain. Aku menganggap mereka
kakakku sendiri. Tidak jarang aku tidur malam ditemani mereka, saat ibu kerja malam.
Semua terlihat begitu
indah saat itu. Aku ingat, dari kecil ibu membebaskanku bermain dengan siapa pun.
Hanya satu hal yang tidak boleh aku lakukan, pergi bermain keluar jauh dari
gang rumah. Padahal gang rumahku sangat sempit, kalau ada motor lewat
berpapasan, salah satu harus ada yang mengalah mundur. Gang-gang di sekitar
rumahku seperti labirin, banyak belokan dan gang buntu. Bahkan sekolah dasar
dan sekolah menengahku masih di sekitar gang dekat rumah. Begitulah, aku tidak
pernah tahu bagaimana dunia di luar sana. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku
bahagia, aku bermain dengan ceria, saat itu.
Semua berubah, saat aku
hampir lulus sekolah menengah. Ketika aku selesai ujian akhir, seperti biasa
aku berjalan menuju mess ibu yang sudah aku anggap rumah. Tidak jauh, sekitar
10 menit aku berjalan. Sesampainya di depan rumah, ibu sedang berbincang dengan
seorang lelaki paruh baya. Itu Om Wili. Om Wili orang yang baik. Katanya dia bos
ibuku. Sering aku mendapati ibu sedang bertelepon dengannya, minta bantuan
biaya sekolah. Dari situ aku tahu, beberapa kali uang SPP ku dibayarkan Om
Wili.
Aku mengucapkan salam.
Tatapanku tertuju pada mata ibu yang sembab, terlihat seperti habis menangis. Aku
segan untuk bertanya. Akhirnya aku hanya menyalami Om Wili dan berniat naik ke lantai
dua, ke kamarku. Tapi langkahku ditahan Om Wili, katanya dia ingin bicara. Aku
pun menurut lalu duduk di antara mereka. Aku melihat ibu tertunduk, lalu
terdengar senggukan. Ibu menangis lagi. Mataku beralih pada Om Wili yang mulai
berbicara, katanya aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Setelah lulus nanti, aku
harus mulai bekerja, seperti ibu. Aku tersentak, kaget bukan main. Aku tahu
profesi ibu. Ya, ibuku seorang PSK. Hatiku terkoyak saat itu. Aku berusaha
menolak tawaran Om Wili. Segala alasan aku berikan. Tidak satu pun yang
diterima. Aku terus menolak, tapi sia-sia. Katanya, ibu telah berutang banyak
pada Om Wili, termasuk biaya hidupku selama ini. Kalau aku tidak ingin seperti
ibu, aku harus membayar. Ya, membayar biaya selama aku hidup. Aku tidak
sanggup. Aku yakin ibu pun tidak. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya
menatapku. Matanya berair. Aku berlari menuju kamarku. Aku menangis. Tidak ada
jalan lain, aku harus seperti ibu.
Hari itu, aku tidak
berhenti menangis. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak mau
melakukannya. Aku bingung. Aku berpikir untuk lari. Tapi sejak hari itu, tiga
orang lelaki berbadan kekar bergantian menjaga rumahku.
Tibalah hari pertama
aku bekerja. Sore itu, sekitar pukul lima sore aku dibawa ketiga pria kekar itu
ke tempat biasa ibu bekerja. Saat sampai di sana, aku bertemu beberapa
perempuan yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Mereka menatapku nanar, penuh
kasihan. Aku disuruh mandi, mereka mulai mendandaniku. “Ini lingkaran setan,
Nova,” kata salah satu dari mereka, “tidak pernah ada yang bisa keluar dari
sini.” Aku hanya bisa diam, aku takut. Aku sangat takut.
Aku berganti pakaian,
dengan blus pendek berwarna merah cerah. Lalu aku diantar keluar, duduk di ruang
depan dengan beberapa orang gadis yang juga sudah berdandan cantik. Ruangan itu
berukuran sekitar empat kali empat meter, ada kursi panjang di ketiga sisi
dindingnya. Di tengah ruangan ada satu meja panjang, di atasnya ada beberapa
tas kecil, asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok, dan beberapa botol
minuman ringan yang sudah tidak utuh. Satu-satunya sisi ruangan yang tidak ada
kursi adalah bagian pintu. yang di sampingnya berdinding kaca. Aku merasa
seperti ikan di akuarium.
Malam semakin larut,
mulai terlihat banyak orang melewati akuarium kami. Kebanyakan dari mereka laki-laki
yang berjalan bergerombol, tiga atau empat orang, ditemani seseorang yang
tampak seperti “guide”. Setiap orang yang lewat, mereka berhenti, melihat kami
satu per satu, seperti memilih. Saat ada salah satu dari kami yang terpilih, “guide”
itu mengajak kami yang terpilih untuk keluar. Semakin lama aku di sana, rasa
takut semakin menusuk. Lututku bergetar. Berjam-jam aku merasakan itu. Detak
jantungku tidak tenang. Hingga akhirnya aku melihat Om Wili masuk diikuti
seorang lelaki paruh baya.
Mereka tersenyum saat
melihatku. Aku lalu menunduk. Tubuhku semakin bergetar. Kakiku lemas. Aku takut.
Mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bahas. Om Wili memanggil dan
menarik lenganku. Kami keluar dari akuarium menuju ke sebrang. Hanya berjarak dua
langkah dari akuarium, kami masuk ke sebuah bangunan. Bangunan ini tinggi, ada beberapa
lantai, bentuknya seperti kos-kosan dengan banyak kamar. Kami naik ke lantai
tiga. Om Wili hanya mengantarku sampai di depan salah satu kamar. Mereka
berbisik lagi. Om Wili mendorong punggungku pelan ke dalam kamar yang remang,
diikuti lelaki paruh baya itu. Di dalam gelap. Hanya ada satu tempat tidur
besar, satu meja kecil dengan lampu tidur di atasnya, dan kamar mandi tanpa
pintu. Aku hanya mematung di belakang pintu. Hingga akhirnya aku ditarik dan
dijatuhkan ke atas tempat tidur. Itulah pertama kali aku melakukannya, dengan
cara dipaksa dan kadang disiksa. Aku sudah tidak perawan.
Sejak hari itu, aku
terpaksa harus terus bekerja. Kadang siang, kadang malam. Setiap hari aku
menemani lima sampai tujuh lelaki, kebanyakan dari mereka lelaki paruh baya,
meskipun ada juga para pemuda tanggung. Kata mereka aku cantik. Banyak yang
kembali dan menjadi pelangganku. Aku hanya libur saat aku sedang datang bulan.
Dalam minggu itu aku tidak bekerja, sampai akhirnya masa haidku selesai dan aku
harus kembali melayani.
Kalian tidak perlu
tanya bagaimana perasaanku, hatiku sudah mati, tubuhku seperti sudah tak
bernyawa. Harapan masa depanku sudah sirna bertahun-tahun yang lalu. Sejak saat
itu, aku dan ibu tidak pernah bertegur sapa, walau kami hidup seatap. Aku baru
mengerti alasan ibu tidak pernah bercerita tentang ayahku. Aku paham, mungkin ibu
tidak tahu lelaki mana yang menghamilinya. Kata teman-teman kerjaku, yang sudah
kuanggap kakakku itu, ketika ibu hamil dulu, Om Wili meminta ibu melakukan
aborsi. Tapi ibu menolak keras. Dia bersikukuh untuk melanjutkan kehamilannya.
Entah harus bahagia atau sedih karena aku sudah terlahir. Yang aku tahu,
sekarang aku hanyalah robot penghasil uang.
Beberapa tahun aku
menjalani hidup yang gila ini. Menolak tidak bisa, menerimanya pun aku tak
sudi. Entah sudah berapa lelaki hidung belang yang menikmati tubuhku. Sampai
akhirnya tiba suatu malam, seorang pria muda datang dan memilihku. Kami
berjalan menuju kamar yang biasa aku tempati, masuk, lalu aku mengunci pintu. Aku
berjalan ke arah tempat tidur sambil sambil melepas kancing bajuku. Namun di
kancing pertama pria itu menahanku, “Tidak usah dibuka, Mbak.” Pria itu
menatapku. Aku pun menuruti permintaannya.
Dia duduk di tepi
tempat tidur dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Dia meraih tas
selempang dari meja, membuka resletingnya, lalu mengeluarkan sebotol kopi.
“Mbak merokok?” dia bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. “Begini, Mbak. Saya
sedang banyak pikiran, butuh teman ngobrol. Semua teman saya tidak ada yang
bisa diajak bicara. Mereka hanya datang ketika saya senang, tidak ada saat saya
sedang susah. Entah kenapa saya ke sini. Padahal saya cuma mau bercerita. Tidak
apa-apa, Mbak?” Aku hanya termenung, mencoba mencerna apa yang dia maksud. “Saya
tidak berniat melakukan itu, saya cuma mau Mbak mendengar cerita saya,” lanjut
pria itu. Setelah aku cukup memahami maksud lelaki itu, aku mengangguk.
Dia pun mulai bercerita.
Sambil mendengar ceritanya, aku berbicara dalam hati, “Ada ya, orang yang rela
menghabiskan uang banyak hanya untuk ngobrol selama dua jam?” Jawabannya, ada. Dia
adalah Fadli, pengusaha muda berumur delapan tahun lebih tua dariku. Dia datang
ke sini karena usahanya hampir bangkrut. Dia ditingalkan teman-temannya dan
datang ke sini. Dia hanya ingin berkeluh kesah. Aku hampir tidak mengerti apa saja
yang dia katakan. Bahasa pengusaha aneh. Banyak istilah yang baru aku dengar.
Hampir dua jam kami mengobrol. Aku terpaksa menyudahi obrolan itu. Aku takut
orang di luar curiga, sudah hampir dua jam kami belum keluar. Dia pun mengerti.
Kami mengakhiri obrolan dan dia berjanji akan kembali datang. Aku tidak peduli.
Tapi ternyata benar. Hampir
seminggu sekali Fadli datang mengunjungiku. Setiap kali datang, dia hanya bercerita
tentang dirinya. Lama-lama aku mulai nyaman mendengar ceritanya. Aku pun mulai
berani bercerita tentang hidup dan masa laluku. Minggu demi minggu, bulan demi
bulan terlewati. Tiba akhirnya pada satu malam, Fadli mengatakan bahwa dia
ingin bicara dengan Om Wili. Aku sedikit takut. Aku tidak berani menjawab. Aku
tahu betul Om Wili seperti apa. Tapi Fadli memaksa, aku pun menyerah.
Aku pertemukan mereka
berdua. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya melihat dari jauh. Setelah
lewat tiga puluh menit, mereka bersalaman. Fadli mendekat ke arahku sambil tersenyum.
Dia mengusap kepalaku sambil berkata, “Minggu depan aku kembali, kamu jangan ke
mana-mana.” Sambil tersenyum Fadli pergi belalu dari hadapanku dan hilang di ujung
gang.
Aku masih melakukan
rutinitas seperti biasa. Hingga pagi itu, ketika aku tengah bersiap untuk
bekerja, seseorang memanggilku dan menarikku keluar. Di luar sudah ada Fadli,
dia tersenyum, “Antar aku ke Om Wili.” Usai berdandan aku mengantar Fadli
menemui Om Wili. Mereka berbicara kembali dan aku hanya melihat dari jauh.
Mereka terlihat serius berbicara, tertawa, dan bicara lagi. Aku melihat Fadli
menunjukkan layar ponselnya kepada Om Wili. Om Wili tersenyum lebar. Mereka
berjabat tangan. Kali ini mereka berdua yang berjalan menghampiriku. Aku
bingung, jantungku berdebar. Mereka berdua tersenyum, sambil menatapku. Om Wili
mendekat dan memelukku, “Sekarang kamu bebas, Fadli membayarmu, dengan harga
yang besar.” Aku kaget. Kaget bercampur malu dan bingung. Apa yang harus aku
lakukan?
Fadli menarik tanganku,
menggandengku. Dia membawaku keluar dari gang itu. Itulah kali pertama aku
menyebrang jalan besar di ujung gang rumahku. Kami menaiki sebuah mobil. Aku tidak
tahu ke mana Fadli akan membawaku.
Di dalam mobil hanya
ada kami berdua. Aku tidak berani mulai bicara. Setelah beberapa lama kami
saling diam, Fadli mulai bercerita. Dia menebusku karena dia menyayangiku. Aku
kaget bercampur senang, jantungku berdebar cepat. Tapi perasaanku berubah saat Fadli
melanjutkan ceritanya. Dia tidak bisa memilikiku, bulan depan dia akan menikah
dengan calon istrinya. Hatiku tercabik. Pertanyaan mulai muncul di kepalaku,
“Lalu, untuk apa dia membebaskanku? Mau di bawa kemana aku?” Tapi tidak ada
kalimat yang keluar dari mulutku.
Seolah mendengar isi
kepalaku Fadli melanjutkan ceritanya. Dia akan membawaku keluar kota, jauh
diujung pulau ini. Katanya, di sana aku akan bekerja di sebuah pabrik milik
keluarganya. Tempat tinggalku sudah disiapkan. Aku tidak tahu harus berkata
apa. Aku sangat bersyukur dan ingin berterima kasih. Tapi bibirku membisu. Aku
hanya diam, menatap jalan di depan.
“Aku membebaskanmu karena
aku menyayangimu, Nova. Tapi maaf, aku tidak bisa hidup bersamamu. Aku sudah
dimiliki orang lain. Hiduplah dengan bebas. Jalani hidup sesukamu. Tidak ada
yang mengekangmu lagi, mulai hari ini.” kata Fadli.
Aku tidak bisa
mengatakan apa pun. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa, hatiku lega sekaligus sakit.
Air mataku tumpah. Aku menangis.
“Terima kasih, Fadli. Kamu
rela berkorban untuk kebebasanku, kamu ikhlas mengeluarkanku tanpa meminta apa
pun dariku. Tapi hatiku sakit. Aku menyayangi kamu. Kamu orang baik. Tapi aku
tidak bisa memaksakan apa pun. Terima kasih karena telah membebaskan aku dari
nasib sekaligus mimpi burukku. Meski setelahnya aku harus kembali menerima
nasib baru, harus melanjutkan hidup tanpa kamu, aku yakin itu berat. Selama
hidup aku merasa tidak pernah melakukan hal jahat atau menyakiti orang lain.
Semoga yang akan aku lakukan dalam hidupku nanti tidak menyakiti siapa pun. Aku
akan menunggumu.”