Senin, 27 Juli 2020

Namaku, Supernova

        Namaku Supernova. Aku biasa dipanggil Nova. Aku lahir dan besar di ibu kota salah satu provinsi bagian barat Pulau Jawa. Usiaku menuju 17. Kata orang aku cantik. Tapi itu tidak membuatku bahagia. Kadang aku merasa wajahku adalah kutukan. Sering kali aku merasa tidak nyaman saat banyak mata laki-laki yang bahkan tidak aku kenal melihatku, dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Aku tumbuh dan dibesarkan ibuku. Ya, hanya ibu. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Ibu pun tidak pernah bercerita tentang itu. Pernah suatu hari aku bertanya. Tapi ibu hanya menjawab, “Kamu tidak perlu tahu.” Aku hidup dan tinggal di kota besar. Tapi entah kenapa aku tidak pernah bisa menikmati indahnya kota ini. Aku hanya bisa menikmati keindahan kota dari dunia maya lewat ponsel pintarku. Aku dapat ponsel itu dari ibu, lima tahun lalu. Aku merasa terpenjara. Di sini, di gang sempit yang sesak. Gang sempit yang katanya terkenal. Ya, gang ini punya banyak julukan, yang paling terkenal adalah “pesantren”. Banyak orang yang tidak asing dengan istilah “pesantren” di kotaku. Rumahku tepat di belakang “pesantren” itu.

Kata ibu, aku lahir dibantu dukun beranak, di rumah yang sampai saat ini aku tempati. Rumah yang entah milik siapa, katanya sih semacam mess. Ibuku bekerja tidak jauh dari mess, hanya berjarak tiga rumah tepatnya. Sejak kecil, aku tidak pernah tahu apa pekerjaan ibuku. Aku pun tidak peduli. Aku ingat betul, aku bisa bermain bebas seharian dengan teman-teman sebayaku tanpa ada yang melarang. Aku merasa masa kecilku membahagiakan. Meskipun aku jarang bermain dengan ibu, banyak orang yang menemaniku dari kecil. Dulu, yang aku tahu mereka adalah teman kerja ibu, yang kebetulan sedang libur, dan bisa menemaniku bermain. Aku menganggap mereka kakakku sendiri. Tidak jarang aku tidur malam ditemani mereka, saat ibu kerja malam.

Semua terlihat begitu indah saat itu. Aku ingat, dari kecil ibu membebaskanku bermain dengan siapa pun. Hanya satu hal yang tidak boleh aku lakukan, pergi bermain keluar jauh dari gang rumah. Padahal gang rumahku sangat sempit, kalau ada motor lewat berpapasan, salah satu harus ada yang mengalah mundur. Gang-gang di sekitar rumahku seperti labirin, banyak belokan dan gang buntu. Bahkan sekolah dasar dan sekolah menengahku masih di sekitar gang dekat rumah. Begitulah, aku tidak pernah tahu bagaimana dunia di luar sana. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku bahagia, aku bermain dengan ceria, saat itu.

Semua berubah, saat aku hampir lulus sekolah menengah. Ketika aku selesai ujian akhir, seperti biasa aku berjalan menuju mess ibu yang sudah aku anggap rumah. Tidak jauh, sekitar 10 menit aku berjalan. Sesampainya di depan rumah, ibu sedang berbincang dengan seorang lelaki paruh baya. Itu Om Wili. Om Wili orang yang baik. Katanya dia bos ibuku. Sering aku mendapati ibu sedang bertelepon dengannya, minta bantuan biaya sekolah. Dari situ aku tahu, beberapa kali uang SPP ku dibayarkan Om Wili.

Aku mengucapkan salam. Tatapanku tertuju pada mata ibu yang sembab, terlihat seperti habis menangis. Aku segan untuk bertanya. Akhirnya aku hanya menyalami Om Wili dan berniat naik ke lantai dua, ke kamarku. Tapi langkahku ditahan Om Wili, katanya dia ingin bicara. Aku pun menurut lalu duduk di antara mereka. Aku melihat ibu tertunduk, lalu terdengar senggukan. Ibu menangis lagi. Mataku beralih pada Om Wili yang mulai berbicara, katanya aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Setelah lulus nanti, aku harus mulai bekerja, seperti ibu. Aku tersentak, kaget bukan main. Aku tahu profesi ibu. Ya, ibuku seorang PSK. Hatiku terkoyak saat itu. Aku berusaha menolak tawaran Om Wili. Segala alasan aku berikan. Tidak satu pun yang diterima. Aku terus menolak, tapi sia-sia. Katanya, ibu telah berutang banyak pada Om Wili, termasuk biaya hidupku selama ini. Kalau aku tidak ingin seperti ibu, aku harus membayar. Ya, membayar biaya selama aku hidup. Aku tidak sanggup. Aku yakin ibu pun tidak. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku. Matanya berair. Aku berlari menuju kamarku. Aku menangis. Tidak ada jalan lain, aku harus seperti ibu.

Hari itu, aku tidak berhenti menangis. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak mau melakukannya. Aku bingung. Aku berpikir untuk lari. Tapi sejak hari itu, tiga orang lelaki berbadan kekar bergantian menjaga rumahku.

Tibalah hari pertama aku bekerja. Sore itu, sekitar pukul lima sore aku dibawa ketiga pria kekar itu ke tempat biasa ibu bekerja. Saat sampai di sana, aku bertemu beberapa perempuan yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Mereka menatapku nanar, penuh kasihan. Aku disuruh mandi, mereka mulai mendandaniku. “Ini lingkaran setan, Nova,” kata salah satu dari mereka, “tidak pernah ada yang bisa keluar dari sini.” Aku hanya bisa diam, aku takut. Aku sangat takut.

Aku berganti pakaian, dengan blus pendek berwarna merah cerah. Lalu aku diantar keluar, duduk di ruang depan dengan beberapa orang gadis yang juga sudah berdandan cantik. Ruangan itu berukuran sekitar empat kali empat meter, ada kursi panjang di ketiga sisi dindingnya. Di tengah ruangan ada satu meja panjang, di atasnya ada beberapa tas kecil, asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok, dan beberapa botol minuman ringan yang sudah tidak utuh. Satu-satunya sisi ruangan yang tidak ada kursi adalah bagian pintu. yang di sampingnya berdinding kaca. Aku merasa seperti ikan di akuarium.

Malam semakin larut, mulai terlihat banyak orang melewati akuarium kami. Kebanyakan dari mereka laki-laki yang berjalan bergerombol, tiga atau empat orang, ditemani seseorang yang tampak seperti “guide”. Setiap orang yang lewat, mereka berhenti, melihat kami satu per satu, seperti memilih. Saat ada salah satu dari kami yang terpilih, “guide” itu mengajak kami yang terpilih untuk keluar. Semakin lama aku di sana, rasa takut semakin menusuk. Lututku bergetar. Berjam-jam aku merasakan itu. Detak jantungku tidak tenang. Hingga akhirnya aku melihat Om Wili masuk diikuti seorang lelaki paruh baya.

Mereka tersenyum saat melihatku. Aku lalu menunduk. Tubuhku semakin bergetar. Kakiku lemas. Aku takut. Mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bahas. Om Wili memanggil dan menarik lenganku. Kami keluar dari akuarium menuju ke sebrang. Hanya berjarak dua langkah dari akuarium, kami masuk ke sebuah bangunan. Bangunan ini tinggi, ada beberapa lantai, bentuknya seperti kos-kosan dengan banyak kamar. Kami naik ke lantai tiga. Om Wili hanya mengantarku sampai di depan salah satu kamar. Mereka berbisik lagi. Om Wili mendorong punggungku pelan ke dalam kamar yang remang, diikuti lelaki paruh baya itu. Di dalam gelap. Hanya ada satu tempat tidur besar, satu meja kecil dengan lampu tidur di atasnya, dan kamar mandi tanpa pintu. Aku hanya mematung di belakang pintu. Hingga akhirnya aku ditarik dan dijatuhkan ke atas tempat tidur. Itulah pertama kali aku melakukannya, dengan cara dipaksa dan kadang disiksa. Aku sudah tidak perawan.

Sejak hari itu, aku terpaksa harus terus bekerja. Kadang siang, kadang malam. Setiap hari aku menemani lima sampai tujuh lelaki, kebanyakan dari mereka lelaki paruh baya, meskipun ada juga para pemuda tanggung. Kata mereka aku cantik. Banyak yang kembali dan menjadi pelangganku. Aku hanya libur saat aku sedang datang bulan. Dalam minggu itu aku tidak bekerja, sampai akhirnya masa haidku selesai dan aku harus kembali melayani.

Kalian tidak perlu tanya bagaimana perasaanku, hatiku sudah mati, tubuhku seperti sudah tak bernyawa. Harapan masa depanku sudah sirna bertahun-tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku dan ibu tidak pernah bertegur sapa, walau kami hidup seatap. Aku baru mengerti alasan ibu tidak pernah bercerita tentang ayahku. Aku paham, mungkin ibu tidak tahu lelaki mana yang menghamilinya. Kata teman-teman kerjaku, yang sudah kuanggap kakakku itu, ketika ibu hamil dulu, Om Wili meminta ibu melakukan aborsi. Tapi ibu menolak keras. Dia bersikukuh untuk melanjutkan kehamilannya. Entah harus bahagia atau sedih karena aku sudah terlahir. Yang aku tahu, sekarang aku hanyalah robot penghasil uang.

Beberapa tahun aku menjalani hidup yang gila ini. Menolak tidak bisa, menerimanya pun aku tak sudi. Entah sudah berapa lelaki hidung belang yang menikmati tubuhku. Sampai akhirnya tiba suatu malam, seorang pria muda datang dan memilihku. Kami berjalan menuju kamar yang biasa aku tempati, masuk, lalu aku mengunci pintu. Aku berjalan ke arah tempat tidur sambil sambil melepas kancing bajuku. Namun di kancing pertama pria itu menahanku, “Tidak usah dibuka, Mbak.” Pria itu menatapku. Aku pun menuruti permintaannya.

Dia duduk di tepi tempat tidur dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Dia meraih tas selempang dari meja, membuka resletingnya, lalu mengeluarkan sebotol kopi. “Mbak merokok?” dia bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. “Begini, Mbak. Saya sedang banyak pikiran, butuh teman ngobrol. Semua teman saya tidak ada yang bisa diajak bicara. Mereka hanya datang ketika saya senang, tidak ada saat saya sedang susah. Entah kenapa saya ke sini. Padahal saya cuma mau bercerita. Tidak apa-apa, Mbak?” Aku hanya termenung, mencoba mencerna apa yang dia maksud. “Saya tidak berniat melakukan itu, saya cuma mau Mbak mendengar cerita saya,” lanjut pria itu. Setelah aku cukup memahami maksud lelaki itu, aku mengangguk.

Dia pun mulai bercerita. Sambil mendengar ceritanya, aku berbicara dalam hati, “Ada ya, orang yang rela menghabiskan uang banyak hanya untuk ngobrol selama dua jam?” Jawabannya, ada. Dia adalah Fadli, pengusaha muda berumur delapan tahun lebih tua dariku. Dia datang ke sini karena usahanya hampir bangkrut. Dia ditingalkan teman-temannya dan datang ke sini. Dia hanya ingin berkeluh kesah. Aku hampir tidak mengerti apa saja yang dia katakan. Bahasa pengusaha aneh. Banyak istilah yang baru aku dengar. Hampir dua jam kami mengobrol. Aku terpaksa menyudahi obrolan itu. Aku takut orang di luar curiga, sudah hampir dua jam kami belum keluar. Dia pun mengerti. Kami mengakhiri obrolan dan dia berjanji akan kembali datang. Aku tidak peduli.

Tapi ternyata benar. Hampir seminggu sekali Fadli datang mengunjungiku. Setiap kali datang, dia hanya bercerita tentang dirinya. Lama-lama aku mulai nyaman mendengar ceritanya. Aku pun mulai berani bercerita tentang hidup dan masa laluku. Minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati. Tiba akhirnya pada satu malam, Fadli mengatakan bahwa dia ingin bicara dengan Om Wili. Aku sedikit takut. Aku tidak berani menjawab. Aku tahu betul Om Wili seperti apa. Tapi Fadli memaksa, aku pun menyerah.

Aku pertemukan mereka berdua. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya melihat dari jauh. Setelah lewat tiga puluh menit, mereka bersalaman. Fadli mendekat ke arahku sambil tersenyum. Dia mengusap kepalaku sambil berkata, “Minggu depan aku kembali, kamu jangan ke mana-mana.” Sambil tersenyum Fadli pergi belalu dari hadapanku dan hilang di ujung gang.

Aku masih melakukan rutinitas seperti biasa. Hingga pagi itu, ketika aku tengah bersiap untuk bekerja, seseorang memanggilku dan menarikku keluar. Di luar sudah ada Fadli, dia tersenyum, “Antar aku ke Om Wili.” Usai berdandan aku mengantar Fadli menemui Om Wili. Mereka berbicara kembali dan aku hanya melihat dari jauh. Mereka terlihat serius berbicara, tertawa, dan bicara lagi. Aku melihat Fadli menunjukkan layar ponselnya kepada Om Wili. Om Wili tersenyum lebar. Mereka berjabat tangan. Kali ini mereka berdua yang berjalan menghampiriku. Aku bingung, jantungku berdebar. Mereka berdua tersenyum, sambil menatapku. Om Wili mendekat dan memelukku, “Sekarang kamu bebas, Fadli membayarmu, dengan harga yang besar.” Aku kaget. Kaget bercampur malu dan bingung. Apa yang harus aku lakukan?

Fadli menarik tanganku, menggandengku. Dia membawaku keluar dari gang itu. Itulah kali pertama aku menyebrang jalan besar di ujung gang rumahku. Kami menaiki sebuah mobil. Aku tidak tahu ke mana Fadli akan membawaku.

Di dalam mobil hanya ada kami berdua. Aku tidak berani mulai bicara. Setelah beberapa lama kami saling diam, Fadli mulai bercerita. Dia menebusku karena dia menyayangiku. Aku kaget bercampur senang, jantungku berdebar cepat. Tapi perasaanku berubah saat Fadli melanjutkan ceritanya. Dia tidak bisa memilikiku, bulan depan dia akan menikah dengan calon istrinya. Hatiku tercabik. Pertanyaan mulai muncul di kepalaku, “Lalu, untuk apa dia membebaskanku? Mau di bawa kemana aku?” Tapi tidak ada kalimat yang keluar dari mulutku.

Seolah mendengar isi kepalaku Fadli melanjutkan ceritanya. Dia akan membawaku keluar kota, jauh diujung pulau ini. Katanya, di sana aku akan bekerja di sebuah pabrik milik keluarganya. Tempat tinggalku sudah disiapkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat bersyukur dan ingin berterima kasih. Tapi bibirku membisu. Aku hanya diam, menatap jalan di depan.

“Aku membebaskanmu karena aku menyayangimu, Nova. Tapi maaf, aku tidak bisa hidup bersamamu. Aku sudah dimiliki orang lain. Hiduplah dengan bebas. Jalani hidup sesukamu. Tidak ada yang mengekangmu lagi, mulai hari ini.” kata Fadli.

Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa, hatiku lega sekaligus sakit. Air mataku tumpah. Aku menangis.

“Terima kasih, Fadli. Kamu rela berkorban untuk kebebasanku, kamu ikhlas mengeluarkanku tanpa meminta apa pun dariku. Tapi hatiku sakit. Aku menyayangi kamu. Kamu orang baik. Tapi aku tidak bisa memaksakan apa pun. Terima kasih karena telah membebaskan aku dari nasib sekaligus mimpi burukku. Meski setelahnya aku harus kembali menerima nasib baru, harus melanjutkan hidup tanpa kamu, aku yakin itu berat. Selama hidup aku merasa tidak pernah melakukan hal jahat atau menyakiti orang lain. Semoga yang akan aku lakukan dalam hidupku nanti tidak menyakiti siapa pun. Aku akan menunggumu.”