Selasa, 15 September 2020

Senja di Ujung September

 

Sore itu aku termenung, mengingat semua yang telah terjadi. Di bibir tebing pantai ujung selatan pulau ini, mataku menatap senja. Namun kosong. Di sini, di ujung September ini, aku merasakan penyesalan yang teramat dalam. Penyesalan yang entah bisa aku tebus atau tidak. Rasa sakit menjalari tubuhku. Sangat sakit. Menjadi peringatan untukku, hidup tak bisa sendirian. Banyak kasih sayang yang aku lewatkan. Semua orang yang mencintaiku aku abaikan. Banyak momen yang terlewatkan, hingga aku dilupakan, karena keegoisan.

Setahun lalu menjelang akhir masa SMA-ku, setelah lulus aku bersikeras untuk pergi ke ibu kota. Impian yang pasti terbersit di setiap khayalan remaja seumurku. Pikirku ibu kota adalah tempat di mana orang-orang terkenal berada. Hidup mewah, bergelimang harta, dan bebas. Aku ingin ke sana. Aku mau jadi salah satu bagian dari kemewahan itu. Saat itu, mimpi itu merupakan hal yang wajar, menurutku. Aku harus pergi, meninggalkan semua orang yang menyayangiku.

Setelah kelulusan sekolah, aku meminta izin kepada orang tuaku untuk pergi ke ibu kota. Mereka melarang. Katanya ibu kota adalah kota yang kejam, kota yang penuh dengan persaingan, entah itu sehat atau tidak. Biaya hidup juga sangat mahal, terlebih jika kita tidak punya kenalan, ibu kota akan menjadi hutan rimba penuh binatang buas yang siap menerkam kapan saja, dengan semua hukum rimbanya. Aku tetap bersikeras untuk pergi. Akhirnya perdebatan besar tidak bisa terhindarkan. “Kamu tidak bisa hidup di sana, biaya hidup di sana mahal, Bapak tidak sanggup membiayai hidupmu di sana,” kata Bapak. Saat itu aku lupa, kalau orang tuaku hanya hidup bergantung pada sawah yang hanya beberapa petak. Hidup kami di sini pun terbilang pas-pasan.

Sejak perdebatan itu, aku dan Bapak tidak akur. Aku terus memaksa untuk pergi, namun Bapak masih melarang. Hingga suatu malam, aku berdebat lagi dengan Bapak dan membentaknya. Aku lari ke kamar, aku membanting pintu. Dengan emosi dan amarah yang masih memuncak, di balik pintu kamarku aku mendengar ibu berbicara kepada Bapak, dia menangis. Entah apa yang mereka bicarakan. Nada Bapak sedikit tinggi, Ibu hanya menangis. Akhirnya aku tahu belakangan, malam itu Ibu berusaha membujuk Bapak untuk mengizinkanku. Ibu sampai rela menjual sisa terakhir hartanya. Beberapa gelang, kalung, dan sepasang anting emas pemberian Bapak akan Ibu jual untuk bekalku. Malam itu Bapak luluh, entah apa bujukan yang Ibu berikan untuk meluluhkan hati Bapak. Siangnya aku dipanggil. Aku diizinkan merantau ke ibu kota. Namun dengan syarat, Bapak akan menemaniku hingga aku mendapatkan tempat tinggal.

Aku senang bukan main, tapi Bapak dan Ibu tidak. Aku bisa merasakannya hanya dengan melihat mata mereka. Akhirnya awal September tahun lalu aku pergi ke ibu kota, diantar Bapak. Setelah mendapat tempat kos yang lumayan murah, Bapak hanya menginap semalam, lalu pulang. Sebelum pulang Bapak berpesan, “Kalau kamu tidak nyaman di sini, telepon Bapak. Bapak akan menjemputmu.” Kosku berada di pinggiran kota, luasnya hanya tiga kali tiga meter. Di dalamnya terdapat lemari baju dan kasur beralas tikar. Memang sangat sederhana, namun aku tidak peduli, ini titik awalku untuk mengubah nasib, pikirku waktu itu.

Minggu-minggu pertama, aku sibuk mencari pekerjaan. Tidak ada yang aku kenal, aku hanya mengelilingi kota. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku hanya bepergian tanpa arah mencari pekerjaan. Uang bekal dari Bapak sudah semakin menipis. Aku khawatir tidak cukup sampai akhir bulan. Namun waktu aku pulang, tetangga kosku memberitahu kalau di dekat tempat kerjanya ada yang sedang mencari pegawai sebagai pelayan toko baju. Tokonya ada di sebuah mall besar di pusat kota. Tanpa pikir panjang aku terima ajakan teman kosku itu. Besoknya aku berangkat bersama temanku menuju mall itu, aku diterima. Kontrak kerjaku hanya enam bulan dan gajiku hanya cukup untuk membayar kos sebulan, makan, dan ongkosku menuju tempat kerja selama dua minggu. Namun, ini awal untuk mengubah hidupku, pikirku waktu itu. Hingga akhirnya untuk menutupi kebutuhanku yang lain dan menyambung hidup, aku merengek meminta tambahan bekal kepada Bapak, setiap bulan.

Tiga bulan aku bekerja di mall itu. Aku mulai didekati seorang pria. Dia terlihat baik, berparas lumayan, dan bertubuh tinggi kekar. Kata Ibu wajahku  ayu, kulit kuning langsat, tidak terlalu tinggi, namun berisi. Aku berdarah campuran Jawa dari Bapak dan Sunda dari Ibu. Mereka merantau menyebrangi pulau saat menikah. Dan aku terlahir di pulau itu, pulau yang terpisah jauh dengan ibu kota.

Pria itu bernama Adri. Awalnya dia baik, sampai akhirnya aku terlena dan kami menjadi sepasang kekasih. Adri mempunyai motor dan dia mengantar jemputku. Aku bisa menghemat ongkos saat itu. Di bulan pertama pacaran aku sangat bahagia. Sampai masuk bulan kedua, gelagat Adri sudah mulai tidak masuk akal. Dari mulai tubuhku yang dia minta, sampai akhirnya tidak jarang dia memintaku untuk membeli barang-barang yang dia inginkan. Dengan gajiku yang pas-pasan tentu saja aku menolaknya. Namun, kejadian waktu itu, ketika pertama kali dia meminta tubuhku dengan manisnya, tanpa aku sadari dia merekamnya. Itulah senjata dia untuk meminta sesuatu kepadaku. Jika tidak dikabulkan, video itu akan sampai pada orang tuaku dan akan disebarkan. Aku tidak punya pilihan lain, selain mengabulkan keinginannya. Tentu saja dengan merengek pada orang tuaku, karena gajiku tidak cukup.

Dari Adri pula aku mengenal asap rokok, minuman keras, dan dunia gemerlap malam dengan semua kelamnya. Ketika kami pergi ke dunia malam, tentu saja aku yang harus membayar semuanya. Hampir setiap malam Minggu dia memaksaku untuk pergi bersenang-senang. Adri juga sudah jarang mengantar jemputku. Hanya malam Minggu dan malam-malam saat dia bernafsu, dia akan datang ke kosku. Sisanya, aku berjuang sendiri. Pernah terpikir untuk meninggalkannya, tapi video itu menahanku. Tak jarang, tangannya pun begitu ringan memukulku.

Lima bulan bersama Adri adalah waktu yang sangat berat bagiku. Hanya tangis di setiap malam yang menemani kesendirianku. Pernah terpikir untuk pulang, namun rasa malu menghalangiku. Setidaknya harus ada yang bisa aku bawa pulang, begitu pikirku. Ku kira kejahatan Adri hanya sampai pada video rekaman itu. Ternyata tidak. Pernah satu malam, modus dia adalah merayakan enam bulan hubungan kami. Dia membawaku ke salah satu tempat karaoke. Di salah satu room, ketika kami masuk sudah ada tiga orang lelaki, temannya kata dia. Di sana mereka bersenang-senang. Aku tidak. Mereka terus memaksaku untuk minum sampai aku mabuk, benar-benar mabuk. Sampai aku tidak sadar. Paginya, ketika aku terbangun, aku berada di sebuah kamar hotel yang cukup mewah. Di sampingku ada salah satu teman Adri. Aku telanjang. Aku menangis histeris. Sampai temannya terbangun dan menceritakan semuanya. Adri menjualku. Kepada ketiga temannya itu. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupku hancur, benar-benar hancur. Malam itu adalah malam terakhir aku melihat Adri. Dia hilang, entah ke mana.

Sejak kejadian itu aku hidup penuh rasa malu, sangat malu. Aku malu pada diriku sendiri. Keegoisanku membawa semua malapetaka ini. Aku menyesal. Sangat menyesal. Aku malu untuk menghubungi orang tuaku. Kini aku hidup menyendiri, tertutup kepada semua orang. Kosku pindah. Tempat kerjaku pun pindah. Aku menghilangkan semua jejak masa kelamku.  Terpikir olehku untuk pulang, tapi tidak cukup uangku untuk sampai ke rumah. Aku menunggu gajiku keluar di tempat kerja baruku. Ku kira itu cukup untuk bekalku pulang. Sebenarnya aku memegang beberapa juta. Tapi uang itu pemberian teman Adri. Aku tak mau memakainya sepeser pun.

Dua Minggu setelah kejadian itu, aku mulai memberanikan diri menghubungi orang tuaku. Sekadar untuk menanyakan kabar dan meminta maaf kepada mereka karena telah menyusahkan mereka selama ini. Tapi malam itu, nomor Bapak tidak aktif. Aku berprasangka baik. Mungkin baterai hp Bapak habis dan dia lupa mengisinya. Di rumah hanya Bapak yang memegang telepon genggam. Tidak ada nomor lain yang bisa aku hubungi. Hingga beberapa hari Bapak masih tidak bisa dihubungi. Aku mulai resah. Aku tidak tahu bagaimana kabar mereka di sana. Akhir  September ini aku harus pulang, dengan uang yang sebenarnya tidak ingin aku gunakan. Aku terpaksa.

Malam itu aku pulang. Dengan perasaan tak karuan. Perjalanan berjam-jam pun terasa sangat panjang. Aku sampai di depan rumah. Dengan menghela napas panjang, aku mulai melangkah masuk ke halaman. Aku mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Beberapa kali. Tetap tidak ada jawaban. Aku menengok lewat jendela samping rumah. Alangkah kagetnya aku melihat rumahku kosong, tak ada satu pun  barang. Aku berusaha mencari Ibu dan Bapak. Aku panik, kebingungan. Sampai akhirnya ada tetangga memberitahuku. Dia bercerita. Akhir-akhir ini orang tuaku berperilaku aneh, mereka menjual satu per satu barang yang bisa dijual di rumahnya. Bahkan sawah dan rumah pun turut mereka jual. Sampai akhirnya beberapa Minggu kemarin ada dua orang laki-laki datang ke rumah. Besoknya,Ibu dan Bapak tak terlihat lagi.

Hatiku benar-benar hancur. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Waktu terasa berhenti. Aku tidak tahu harus mencari mereka ke mana. Saudara pun aku tak tahu, aku lahir di tanah rantau. Orang tuaku pun tak pernah menyinggung keluarga mereka. Aku mencari ke setiap sudut kota ini. Namun mereka tidak ada. Entah harus mencari ke mana lagi. Sampai akhirnya aku terdampar di ujung pantai kota ini. Hanya bisa terduduk kaku menatap langit senja. “Ibu, Bapak, di mana kalian? Aku minta maaf. Aku rindu kalian. Aku tidak ingin ke ibu kota. Aku hanya ingin kalian. Melihat kalian lagi. Hidup bersama kalian lagi. Maafkan aku Bapak, Ibu. Aku menyesal. Benar-benar menyesal.”

Kata-kata itu terus berteriak di kepalaku. Hidupku sudah habis. Aku tidak pernah tahu kalau kepergianku menjadi malapetaka bagi aku dan keluargaku. Egoku menjadikanku hidup sendiri. Impianku terlalu tinggi. Harapanku terlalu melambung jauh. Aku tidak akan pernah berharap lagi. Aku menyesal karena silau melihat kehidupan orang lain, milik orang lain. Sampai aku lupa kalau aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Aku harus menghargai orang-orang yang menyayangiku. Aku harus bisa menerima semuanya. Tapi semua terlambat. Sekarang tinggal tebing, pantai, senja, dan sisa akhir waktuku. “Maafkan aku. Bapak, Ibu, aku sayang kalian.” Sekaranglah akhir waktuku, dengan sisa tangis dan tenagaku.