Sore itu aku
termenung, mengingat semua yang telah terjadi. Di bibir tebing pantai ujung
selatan pulau ini, mataku menatap senja. Namun kosong. Di sini, di ujung
September ini, aku merasakan penyesalan yang teramat dalam. Penyesalan yang
entah bisa aku tebus atau tidak. Rasa sakit menjalari tubuhku. Sangat sakit.
Menjadi peringatan untukku, hidup tak bisa sendirian. Banyak kasih sayang yang
aku lewatkan. Semua orang yang mencintaiku aku abaikan. Banyak momen yang
terlewatkan, hingga aku dilupakan, karena keegoisan.
Setahun lalu menjelang
akhir masa SMA-ku, setelah lulus aku bersikeras untuk pergi ke ibu kota. Impian
yang pasti terbersit di setiap khayalan remaja seumurku. Pikirku ibu kota
adalah tempat di mana orang-orang terkenal berada. Hidup mewah, bergelimang
harta, dan bebas. Aku ingin ke sana. Aku mau jadi salah satu bagian dari
kemewahan itu. Saat itu, mimpi itu merupakan hal yang wajar, menurutku. Aku
harus pergi, meninggalkan semua orang yang menyayangiku.
Setelah
kelulusan sekolah, aku meminta izin kepada orang tuaku untuk pergi ke ibu kota.
Mereka melarang. Katanya ibu kota adalah kota yang kejam, kota yang penuh
dengan persaingan, entah itu sehat atau tidak. Biaya hidup juga sangat mahal,
terlebih jika kita tidak punya kenalan, ibu kota akan menjadi hutan rimba penuh
binatang buas yang siap menerkam kapan saja, dengan semua hukum rimbanya. Aku
tetap bersikeras untuk pergi. Akhirnya perdebatan besar tidak bisa
terhindarkan. “Kamu tidak bisa hidup di sana, biaya hidup di sana mahal, Bapak tidak
sanggup membiayai hidupmu di sana,” kata Bapak. Saat itu aku lupa, kalau orang
tuaku hanya hidup bergantung pada sawah yang hanya beberapa petak. Hidup kami
di sini pun terbilang pas-pasan.
Sejak perdebatan
itu, aku dan Bapak tidak akur. Aku terus memaksa untuk pergi, namun Bapak masih
melarang. Hingga suatu malam, aku berdebat lagi dengan Bapak dan membentaknya.
Aku lari ke kamar, aku membanting pintu. Dengan emosi dan amarah yang masih
memuncak, di balik pintu kamarku aku mendengar ibu berbicara kepada Bapak, dia
menangis. Entah apa yang mereka bicarakan. Nada Bapak sedikit tinggi, Ibu hanya
menangis. Akhirnya aku tahu belakangan, malam itu Ibu berusaha membujuk Bapak
untuk mengizinkanku. Ibu sampai rela menjual sisa terakhir hartanya. Beberapa
gelang, kalung, dan sepasang anting emas pemberian Bapak akan Ibu jual untuk
bekalku. Malam itu Bapak luluh, entah apa bujukan yang Ibu berikan untuk
meluluhkan hati Bapak. Siangnya aku dipanggil. Aku diizinkan merantau ke ibu kota.
Namun dengan syarat, Bapak akan menemaniku hingga aku mendapatkan tempat
tinggal.
Aku senang bukan
main, tapi Bapak dan Ibu tidak. Aku bisa merasakannya hanya dengan melihat mata
mereka. Akhirnya awal September tahun lalu aku pergi ke ibu kota, diantar Bapak.
Setelah mendapat tempat kos yang lumayan murah, Bapak hanya menginap semalam,
lalu pulang. Sebelum pulang Bapak berpesan, “Kalau kamu tidak nyaman di sini,
telepon Bapak. Bapak akan menjemputmu.” Kosku berada di pinggiran kota, luasnya
hanya tiga kali tiga meter. Di dalamnya terdapat lemari baju dan kasur beralas
tikar. Memang sangat sederhana, namun aku tidak peduli, ini titik awalku untuk
mengubah nasib, pikirku waktu itu.
Minggu-minggu
pertama, aku sibuk mencari pekerjaan. Tidak ada yang aku kenal, aku hanya
mengelilingi kota. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku hanya bepergian
tanpa arah mencari pekerjaan. Uang bekal dari Bapak sudah semakin menipis. Aku
khawatir tidak cukup sampai akhir bulan. Namun waktu aku pulang, tetangga kosku
memberitahu kalau di dekat tempat kerjanya ada yang sedang mencari pegawai sebagai
pelayan toko baju. Tokonya ada di sebuah mall besar di pusat kota. Tanpa pikir
panjang aku terima ajakan teman kosku itu. Besoknya aku berangkat bersama
temanku menuju mall itu, aku diterima. Kontrak kerjaku hanya enam bulan dan
gajiku hanya cukup untuk membayar kos sebulan, makan, dan ongkosku menuju
tempat kerja selama dua minggu. Namun, ini awal untuk mengubah hidupku, pikirku
waktu itu. Hingga akhirnya untuk menutupi kebutuhanku yang lain dan menyambung
hidup, aku merengek meminta tambahan bekal kepada Bapak, setiap bulan.
Tiga bulan aku
bekerja di mall itu. Aku mulai didekati seorang pria. Dia terlihat baik, berparas
lumayan, dan bertubuh tinggi kekar. Kata Ibu wajahku ayu, kulit kuning langsat, tidak terlalu
tinggi, namun berisi. Aku berdarah campuran Jawa dari Bapak dan Sunda dari Ibu.
Mereka merantau menyebrangi pulau saat menikah. Dan aku terlahir di pulau itu,
pulau yang terpisah jauh dengan ibu kota.
Pria itu bernama
Adri. Awalnya dia baik, sampai akhirnya aku terlena dan kami menjadi sepasang
kekasih. Adri mempunyai motor dan dia mengantar jemputku. Aku bisa menghemat
ongkos saat itu. Di bulan pertama pacaran aku sangat bahagia. Sampai masuk bulan
kedua, gelagat Adri sudah mulai tidak masuk akal. Dari mulai tubuhku yang dia
minta, sampai akhirnya tidak jarang dia memintaku untuk membeli barang-barang
yang dia inginkan. Dengan gajiku yang pas-pasan tentu saja aku menolaknya.
Namun, kejadian waktu itu, ketika pertama kali dia meminta tubuhku dengan
manisnya, tanpa aku sadari dia merekamnya. Itulah senjata dia untuk meminta
sesuatu kepadaku. Jika tidak dikabulkan, video itu akan sampai pada orang tuaku
dan akan disebarkan. Aku tidak punya pilihan lain, selain mengabulkan
keinginannya. Tentu saja dengan merengek pada orang tuaku, karena gajiku tidak
cukup.
Dari Adri pula
aku mengenal asap rokok, minuman keras, dan dunia gemerlap malam dengan semua
kelamnya. Ketika kami pergi ke dunia malam, tentu saja aku yang harus membayar
semuanya. Hampir setiap malam Minggu dia memaksaku untuk pergi
bersenang-senang. Adri juga sudah jarang mengantar jemputku. Hanya malam Minggu
dan malam-malam saat dia bernafsu, dia akan datang ke kosku. Sisanya, aku
berjuang sendiri. Pernah terpikir untuk meninggalkannya, tapi video itu
menahanku. Tak jarang, tangannya pun begitu ringan memukulku.
Lima bulan bersama
Adri adalah waktu yang sangat berat bagiku. Hanya tangis di setiap malam yang
menemani kesendirianku. Pernah terpikir untuk pulang, namun rasa malu
menghalangiku. Setidaknya harus ada yang bisa aku bawa pulang, begitu pikirku.
Ku kira kejahatan Adri hanya sampai pada video rekaman itu. Ternyata tidak.
Pernah satu malam, modus dia adalah merayakan enam bulan hubungan kami. Dia membawaku
ke salah satu tempat karaoke. Di salah satu room,
ketika kami masuk sudah ada tiga orang lelaki, temannya kata dia. Di sana
mereka bersenang-senang. Aku tidak. Mereka terus memaksaku untuk minum sampai
aku mabuk, benar-benar mabuk. Sampai aku tidak sadar. Paginya, ketika aku
terbangun, aku berada di sebuah kamar hotel yang cukup mewah. Di sampingku ada
salah satu teman Adri. Aku telanjang. Aku menangis histeris. Sampai temannya
terbangun dan menceritakan semuanya. Adri menjualku. Kepada ketiga temannya
itu. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupku hancur, benar-benar hancur.
Malam itu adalah malam terakhir aku melihat Adri. Dia hilang, entah ke mana.
Sejak kejadian
itu aku hidup penuh rasa malu, sangat malu. Aku malu pada diriku sendiri. Keegoisanku
membawa semua malapetaka ini. Aku menyesal. Sangat menyesal. Aku malu untuk
menghubungi orang tuaku. Kini aku hidup menyendiri, tertutup kepada semua
orang. Kosku pindah. Tempat kerjaku pun pindah. Aku menghilangkan semua jejak
masa kelamku. Terpikir olehku untuk
pulang, tapi tidak cukup uangku untuk sampai ke rumah. Aku menunggu gajiku
keluar di tempat kerja baruku. Ku kira itu cukup untuk bekalku pulang.
Sebenarnya aku memegang beberapa juta. Tapi uang itu pemberian teman Adri. Aku
tak mau memakainya sepeser pun.
Dua Minggu
setelah kejadian itu, aku mulai memberanikan diri menghubungi orang tuaku. Sekadar
untuk menanyakan kabar dan meminta maaf kepada mereka karena telah menyusahkan
mereka selama ini. Tapi malam itu, nomor Bapak tidak aktif. Aku berprasangka
baik. Mungkin baterai hp Bapak habis dan dia lupa mengisinya. Di rumah hanya Bapak
yang memegang telepon genggam. Tidak ada nomor lain yang bisa aku hubungi. Hingga
beberapa hari Bapak masih tidak bisa dihubungi. Aku mulai resah. Aku tidak tahu
bagaimana kabar mereka di sana. Akhir September
ini aku harus pulang, dengan uang yang sebenarnya tidak ingin aku gunakan. Aku
terpaksa.
Malam itu aku
pulang. Dengan perasaan tak karuan. Perjalanan berjam-jam pun terasa sangat
panjang. Aku sampai di depan rumah. Dengan menghela napas panjang, aku mulai
melangkah masuk ke halaman. Aku mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Beberapa
kali. Tetap tidak ada jawaban. Aku menengok lewat jendela samping rumah.
Alangkah kagetnya aku melihat rumahku kosong, tak ada satu pun barang. Aku berusaha mencari Ibu dan Bapak.
Aku panik, kebingungan. Sampai akhirnya ada tetangga memberitahuku. Dia bercerita.
Akhir-akhir ini orang tuaku berperilaku aneh, mereka menjual satu per satu
barang yang bisa dijual di rumahnya. Bahkan sawah dan rumah pun turut mereka jual.
Sampai akhirnya beberapa Minggu kemarin ada dua orang laki-laki datang ke
rumah. Besoknya,Ibu dan Bapak tak terlihat lagi.
Hatiku
benar-benar hancur. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Waktu terasa berhenti. Aku
tidak tahu harus mencari mereka ke mana. Saudara pun aku tak tahu, aku lahir di
tanah rantau. Orang tuaku pun tak pernah menyinggung keluarga mereka. Aku
mencari ke setiap sudut kota ini. Namun mereka tidak ada. Entah harus mencari
ke mana lagi. Sampai akhirnya aku terdampar di ujung pantai kota ini. Hanya
bisa terduduk kaku menatap langit senja. “Ibu, Bapak, di mana kalian? Aku minta
maaf. Aku rindu kalian. Aku tidak ingin ke ibu kota. Aku hanya ingin kalian.
Melihat kalian lagi. Hidup bersama kalian lagi. Maafkan aku Bapak, Ibu. Aku menyesal.
Benar-benar menyesal.”
Kata-kata itu
terus berteriak di kepalaku. Hidupku sudah habis. Aku tidak pernah tahu kalau
kepergianku menjadi malapetaka bagi aku dan keluargaku. Egoku menjadikanku
hidup sendiri. Impianku terlalu tinggi. Harapanku terlalu melambung jauh. Aku
tidak akan pernah berharap lagi. Aku menyesal karena silau melihat kehidupan
orang lain, milik orang lain. Sampai aku lupa kalau aku harus mensyukuri apa
yang aku punya. Aku harus menghargai orang-orang yang menyayangiku. Aku harus
bisa menerima semuanya. Tapi semua terlambat. Sekarang tinggal tebing, pantai,
senja, dan sisa akhir waktuku. “Maafkan aku. Bapak, Ibu, aku sayang kalian.”
Sekaranglah akhir waktuku, dengan sisa tangis dan tenagaku.