Masa kecilku terbilang menyenangkan. Meskipun aku tumbuh berkembang didampingi oleh paman dan bibiku. Kedua orang tuaku telah berpulang bersamaan ketika usiaku lima tahun. Meski begitu, aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Paman dan bibiku selalu memperhatikanku dengan telaten. Semua kebutuhanku dan semua kemauanku mereka penuhi. Meski, selalu saja ada rasa 'tidak enak' ketika kebutuhan dan kemauanku menghampiri diriku. Tapi entah kenapa seakan mereka mengerti apa yang aku mau tanpa harus aku mengatakannya. Aku bersyukur tentang hal itu.
Posisiku sebagai gadis yatim piatu membuatku mempunyai bagian sisi melankolis. Suka tidak suka, aku ditinggal pergi orang tersayangku. Bagian melankolis di diriku sesekali hinggap pada rasa yang dalam. Mungkin rindu. Tapi entah rindu apa yang menghampiriku kala situasi itu. Memori mengingatku belum bekerja dengan baik ketika orang tuaku berpulang. Atau mungkin alam bawah sadarku yang menghentakkan rindu itu ke dalam sanubari hati. Entahlah. Tapi ketika rasa itu mampir, tak jarang aku menitikan air mata. Dengan rasa yang begitu pahit yang seiring mendominasi perasaan itu. Entahlah, aku hanya berusah menjadi gadis kuat diantara ribuan rasa yang singgah kedalam hatiku seiring dengan pendewasaanku.
Beranjak remaja, perasaanku selalu terombang-ambing dengan hilir mudiknya pria-pria yang mencoba masuk ke hatiku dengan jalur 'ingin menggantikan perasaan yang hilang setelah kepergian orang tuaku'. Tapi aku tak pernah ambil resiko itu. Ada rasa takut yang menghatuiku. Melihat beberapa teman-temanku yang memutuskan untuk memiliki pasangan dimasa sekolah mereka. Pendidikannya terbengkalai, hidupnya jadi tanpa arah. Bahkan ada yang sampai harus berhenti sekolah karna berbadan dua. Aku takut. Itu bisa saja aku alami. Aku lebih memikirkan aku bisa selesaikan pendidikanku dan berterimakasih pada paman dan bibiku. Agar tidak ada lagi beban 'tidak enak' pada siapapun. Maka dari itu, aku selalu berusaha menyelesaikan pendidikanku dengan benar, meski tak pernah menjadi yang terbaik, setidaknya waktunya tepat, dan tidak tinggal kelas.
Kata salah satu temanku, kasian pria-pria itu, mereka patah hati karna tidak bisa memilikiku. Entahlah, aku tidak peduli dengan hal itu, aku mau ingin terbebas dari rasa tidak enak itu, aku ingin hidup bebas, yang memopang diriku sendiri, susah dan senangnya biar aku telan sendiri. Itu keinginanku. Aku tidak mau pria-pria itu, aku tidak mau menambah rasa tidak enakku pada mereka. Karna aku sadar betul, bahwa aku gadis yang punya emosi yang tidak stabil. Meski aku tidak pernah mengutarakan rasa sedihku pada siapapun. Aku hanya mengungapkan dengan air mata dalam ibadahku. Kepada Tuhan, aku selalu ceritakan semua itu. Agar cerita sedihku sampai pada orang tuaku. Mungkin. Aku tak tahu.
Aku bukan termasuk gadis yang 'kuper'. Tak jarang aku bepergian dengan teman-teman wanitaku. Walau hanya sebatas 'window shoping' mengelilingi mal-mal terkenal di kotaku, atau menonton di bioskop, 'nongkrong' sembari bergosip di kedai kopi terkenal, atau 'hangout' ke tempat terkenal, berkaroke ria dan tak jarang aku menjajaki dunia malam di kota ini. Mulai dari asap roko, roko elektrik, dan minuman beralkohol pernah aku coba. Aku tidak munafik. Akupun penasaran dengan hal-hal seperti itu. Namun aku tidak kecanduan. Hanya sebatas ingin memenuhi rasa penasaranku. Tapi bersyukur, obat-obatan terlarang hingga narkoba tak pernah aku cicipi. Ketakutanku yang membentengiku untuk tidak mencoba hal-hal itu. Masa remajaku memang se-mengasyikan itu.
***
Waktu berpindah pada masaku sekarang. Diusiaku yang masih terbilang muda, aku berhasil membuat sebuah kedai kopi. Tempatnya tidak terlalu besar. Bangunan rumah tipe 21 yang berukuran enam kali tiga koma lima meter peninggalan kedua orang tuaku aku sulap menjadi sebuah kedai kopi. Beruntung bagunan itu tidak jauh dari jalan besar. Hanya terhalang dua bangunan dari tepian jalan. Dengan modal usaha yang aku kumpulkan dari hasil kerjaku selama dua tahun. Selesai masa sekolahku, aku langsung terjun ke dunia kerja, meski paman dan bibiku menawariku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku menolaknya. Aku mempunyai impian bisa punya kedai kopiku sendiri. Bersyukur dengan waktu lima tahun aku wujudkan impian itu.
Hari-hariku kini disibukkan dengan kegiatanku di kedai kopi, mulai dari belanja kebutuhan, beres-beres tempat, hingga melayani pelanggan semua aku kerjakan sendiri. Lelah pasti, tapi aku senang menjalani itu, karna ini adalah mimpiku. Hidupku terasa sempurna. Memang, ada beberapa waktu masalah menghampiriku, seperti kelakuan pelanggan yang terlalu berlebihan. Tapi aku tidak memikirkan hal itu terlalu dalam. Hingga tiba masa aku jatuh cinta pada salah satu pelangganku.
Ceritanya bermula ketika sore itu aku sedang sibuk dengan kegiatanku di kedai. Muncul sesosok pria yang sedari dia masuk ke pintu kedai, pandangan mataku tak lepas dari pria itu. Sepertinya dia seorang pegawai kantoran. Terlihat dari pakaian yang dia kenakan. Entah kenapa, aura pria itu seakan menghipnotis diriku untuk terus menatapnya. Hingga dia benar-benar ada dihadapanku, aku hanya melongo menatapi wajahnya. Dia menyapaku 'nona' dengan sedikit mendekatkan wajahnya kepada wajahku. Kesadaranku mulai muncul, dengan sedikit rasa malu terlihat dari pipiku yang mulai memerah, aku membalas sapaan itu dengan berusaha mengeluarkan senyum terbaikku dihadapannya.
Selang beberapa waktu, aku tahu pria itu bernama Mura. Mura sering datang ke tempatku. Hampir setiap hari, ketika dia pulang kerja. Firasatku mengatakan Mura juga menyukaiku, karna kedatangannya yang teramat sering itu. Kupikir aku berhasil menghipnotis pria itu dengan senyum terbaikku saat pertemuan pertama kita. Aku senang bukan main, hari-hariku seakan menjadi sangat menyenangkan. Perasaan ini baru pertama kali aku rasakan. Rasa ketertarikanku pada Mura sangat-sangat membuatku bersemangat. Tuhan, aku jatuh cinta. Sungguh. Aku jatuh cinta pada ciptaanMu yang sederhana itu. Aku jatuh cinta pada suaranya yany lembut itu. Aku jatuh cinta pada sorot matanya yang tegas itu. Tuhan. Akhirnya aku jatuh cinta, pada seorang pria yang menamai dirinya Mura. Aku bahagia. Sangat teramat bahagia, Tuhan.
Dan kisah cintaku dengan Mura dimulai..
***