Sabtu, 12 Oktober 2024

Rena Zahra, Tentang Hidup yang Berjalan


Aku Rena. Terlahir dan tumbuh dewasa di sebuah kota yang tumbuh pesat menjadi kota metropolitan di bagian barat pulau Jawa. Umurku kini beranjak dua puluh dua tahun. Di usiaku sekarang, tinggiku hanya seratus lima puluh lima sentimeter. Cukup untuk dikatai gadis yang tak pernah besar. Warna kulitku termasuk kategori 'cewek putih' dengan warna kuning langsat ditambah dengan warna rambut hitam pekat terurai sebahu yang menambah kesanku menjadi miniatur gadis lucu. Kata orang, wajahku oriental, terlihat dari mataku yang sedikit sipit dan bibirku yang terpasang tipis. Lesung pipiku keluar saat aku tersenyum sekaligus hilangnya mataku tertutup kelopak mata yang menutupi semua bagian bola mata. Berat badanku hanya sebatas dua buah karung beras berukuran dua puluh lima kilogram. Hanya empat puluh lima kilogram, tidak kurus, tidak juga gemuk. Cukup.
Masa kecilku terbilang menyenangkan. Meskipun aku tumbuh berkembang didampingi oleh paman dan bibiku. Kedua orang tuaku telah berpulang bersamaan ketika usiaku lima tahun. Meski begitu, aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Paman dan bibiku selalu memperhatikanku dengan telaten. Semua kebutuhanku dan semua kemauanku mereka penuhi. Meski, selalu saja ada rasa 'tidak enak' ketika kebutuhan dan kemauanku menghampiri diriku. Tapi entah kenapa seakan mereka mengerti apa yang aku mau tanpa harus aku mengatakannya. Aku bersyukur tentang hal itu.
Posisiku sebagai gadis yatim piatu membuatku mempunyai bagian sisi melankolis. Suka tidak suka, aku ditinggal pergi orang tersayangku. Bagian melankolis di diriku sesekali hinggap pada rasa yang dalam. Mungkin rindu. Tapi entah rindu apa yang menghampiriku kala situasi itu. Memori mengingatku belum bekerja dengan baik ketika orang tuaku berpulang. Atau mungkin alam bawah sadarku yang menghentakkan rindu itu ke dalam sanubari hati. Entahlah. Tapi ketika rasa itu mampir, tak jarang aku menitikan air mata. Dengan rasa yang begitu pahit yang seiring mendominasi perasaan itu. Entahlah, aku hanya berusah menjadi gadis kuat diantara ribuan rasa yang singgah kedalam hatiku seiring dengan pendewasaanku.
Beranjak remaja, perasaanku selalu terombang-ambing dengan hilir mudiknya pria-pria yang mencoba masuk ke hatiku dengan jalur 'ingin menggantikan perasaan yang hilang setelah kepergian orang tuaku'. Tapi aku tak pernah ambil resiko itu. Ada rasa takut yang menghatuiku. Melihat beberapa teman-temanku yang memutuskan untuk memiliki pasangan dimasa sekolah mereka. Pendidikannya terbengkalai, hidupnya jadi tanpa arah. Bahkan ada yang sampai harus berhenti sekolah karna berbadan dua. Aku takut. Itu bisa saja aku alami. Aku lebih memikirkan aku bisa selesaikan pendidikanku dan berterimakasih pada paman dan bibiku. Agar tidak ada lagi beban 'tidak enak' pada siapapun. Maka dari itu, aku selalu berusaha menyelesaikan pendidikanku dengan benar, meski tak pernah menjadi yang terbaik, setidaknya waktunya tepat, dan tidak tinggal kelas.
Kata salah satu temanku, kasian pria-pria itu, mereka patah hati karna tidak bisa memilikiku. Entahlah, aku tidak peduli dengan hal itu, aku mau ingin terbebas dari rasa tidak enak itu, aku ingin hidup bebas, yang memopang diriku sendiri, susah dan senangnya biar aku telan sendiri. Itu keinginanku. Aku tidak mau pria-pria itu, aku tidak mau menambah rasa tidak enakku pada mereka. Karna aku sadar betul, bahwa aku gadis yang punya emosi yang tidak stabil. Meski aku tidak pernah mengutarakan rasa sedihku pada siapapun. Aku hanya mengungapkan dengan air mata dalam ibadahku. Kepada Tuhan, aku selalu ceritakan semua itu. Agar cerita sedihku sampai pada orang tuaku. Mungkin. Aku tak tahu.
Aku bukan termasuk gadis yang 'kuper'. Tak jarang aku bepergian dengan teman-teman wanitaku. Walau hanya sebatas 'window shoping' mengelilingi mal-mal terkenal di kotaku, atau menonton di bioskop, 'nongkrong' sembari bergosip di kedai kopi terkenal,  atau 'hangout' ke tempat terkenal, berkaroke ria dan tak jarang aku menjajaki dunia malam di kota ini. Mulai dari asap roko, roko elektrik, dan minuman beralkohol pernah aku coba. Aku tidak munafik. Akupun penasaran dengan hal-hal seperti itu. Namun aku tidak kecanduan. Hanya sebatas ingin memenuhi rasa penasaranku. Tapi bersyukur, obat-obatan terlarang hingga narkoba tak pernah aku cicipi. Ketakutanku yang membentengiku untuk tidak mencoba hal-hal itu. Masa remajaku memang se-mengasyikan itu.
***
Waktu berpindah pada masaku sekarang. Diusiaku yang masih terbilang muda, aku berhasil membuat sebuah kedai kopi. Tempatnya tidak terlalu besar. Bangunan rumah tipe 21 yang berukuran enam kali tiga koma lima meter peninggalan kedua orang tuaku aku sulap menjadi sebuah kedai kopi. Beruntung bagunan itu tidak jauh dari jalan besar. Hanya terhalang dua bangunan dari tepian jalan. Dengan modal usaha yang aku kumpulkan dari hasil kerjaku selama dua tahun. Selesai masa sekolahku, aku langsung terjun ke dunia kerja, meski paman dan bibiku menawariku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku menolaknya. Aku mempunyai impian bisa punya kedai kopiku sendiri. Bersyukur dengan waktu lima tahun aku wujudkan impian itu. 
Hari-hariku kini disibukkan dengan kegiatanku di kedai kopi, mulai dari belanja kebutuhan, beres-beres tempat, hingga melayani pelanggan semua aku kerjakan sendiri. Lelah pasti, tapi aku senang menjalani itu, karna ini adalah mimpiku. Hidupku terasa sempurna. Memang, ada beberapa waktu masalah menghampiriku, seperti kelakuan pelanggan yang terlalu berlebihan. Tapi aku tidak memikirkan hal itu terlalu dalam. Hingga tiba masa aku jatuh cinta pada salah satu pelangganku.
Ceritanya bermula ketika sore itu aku sedang sibuk dengan kegiatanku di kedai. Muncul sesosok pria yang sedari dia masuk ke pintu kedai, pandangan mataku tak lepas dari pria itu. Sepertinya dia seorang pegawai kantoran. Terlihat dari pakaian yang dia kenakan. Entah kenapa, aura pria itu seakan menghipnotis diriku untuk terus menatapnya. Hingga dia benar-benar ada dihadapanku, aku hanya melongo menatapi wajahnya. Dia menyapaku 'nona' dengan sedikit mendekatkan wajahnya kepada wajahku. Kesadaranku mulai muncul, dengan sedikit rasa malu terlihat dari pipiku yang mulai memerah, aku membalas sapaan itu dengan berusaha mengeluarkan senyum terbaikku dihadapannya.
Selang beberapa waktu, aku tahu pria itu bernama Mura. Mura sering datang ke tempatku. Hampir setiap hari, ketika dia pulang kerja. Firasatku mengatakan Mura juga menyukaiku, karna kedatangannya yang teramat sering itu. Kupikir aku berhasil menghipnotis pria itu dengan senyum terbaikku saat pertemuan pertama kita. Aku senang bukan main, hari-hariku seakan menjadi sangat menyenangkan. Perasaan ini baru pertama kali aku rasakan. Rasa ketertarikanku pada Mura sangat-sangat membuatku bersemangat. Tuhan, aku jatuh cinta. Sungguh. Aku jatuh cinta pada ciptaanMu yang sederhana itu. Aku jatuh cinta pada suaranya yany lembut itu. Aku jatuh cinta pada sorot matanya yang tegas itu. Tuhan. Akhirnya aku jatuh cinta, pada seorang pria yang menamai dirinya Mura. Aku bahagia. Sangat teramat bahagia, Tuhan.
Dan kisah cintaku dengan Mura dimulai..
***

Rabu, 09 Oktober 2024

Sepenggal Rasa dari Rena

Diwaktu subuh, Mura terbangun. Mendengar suara orang-orang yang sedang melaksanakan solat di mesjid samping kosannya. Mura terhentak. Kaget dengan suara imam yang sedang membaca surah Al-qoriah yang terdengar jelas dari speaker masjid. Hanya dua puluh menit Mura tertidur. Sehabis semalam suntuk merayakan patah hatinya. Ditemani berbotol-botol minuman keras yang ia beli sebelum menepi dikamar kosannya malam tadi. Hati Mura hancur. Mendengar kabar bahwa Nuyi, pujaan hatinya, kasih tak sampainya telah berbadan dua oleh kekasihnya. Siang tadi. Mura mendapat kabar dari teman satu kantornya Nuyi, bahwa benar, kini kasih abadinya telah melakukan hal yang sepatutnya tidak dilakukan. Meski dengan kekasih sendiri. Semenjak sore itu pikiran Mura kacau, tak bisa merasa, tak bisa berkata. Hanya dendam yang tertanam dalam pada kekasih Nuyi yang telah menodai pujaan hatinya. 
Fajar itu Mura tak karuan. Tentang perasaan, tentang hati yang luluh lantah, juga efek dari minuman beralkohol yang dia konsumsi sedari malam tadi. Pikirannya mulai menuju pada hal-hal yang ekstrim. Terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup. Dengan cara apapun, yang penting Mura mati pagi ini. Begitu pikirannya. Segala macam cara mengakhiri hidup telah dia pikirkan, mulai dari meminum racun, gantung diri, atau menyayat nadinya sendiri. Beruntung karna 'basian' mabuk semalam, semua itu hanya ada dipikirannya. Tak sampai melakukannya. Karna badannya lemas tak berdaya. Hingga sampai keadaan sudah sunyi kembali, orang-orang yang melaksanakan kewajiban subuhnya dimesjid telah pulang kerumah masing-masing. Mura akhirnya tertidur kembali. Terlelap bersama pikiran dan perasaan yang hancur berkeping-keping. 

***
Empat hari sudah, Rena menunggu kedatangan pelanggan favoritnya yang tak kunjung datang. Rena, seorang barista cantik belia yang mengelola kedai kopinya sendiri. Kedai kopi yang dia rintis semenjak lima tahun terakhir, menjadi kegiatan sehari-hari gadis periang ini. Semua jenis pelanggan telah Rena temui. Mulai dari yang asik hingga so asik. Hingga satu hari, Rena kedatangan pelanggan seorang pria, pria muda yang sepertinya seorang pekerja kantoran. Dilihat dari cara berpakaian yang rapi, dengan kemeja semi formalnya yang berwarna marun, celana slim berbahan katun berwarna hitam, dan sepatu pantofel berwarna coklat. Pertemuan pertama mereka diawali dengan senyuman manis khas Rena. Senyum tipis dibibirnya, lesung pipinya, dan matanya yang menyipit membuat siapa saja yang melihat pasti terhipnotis dibuatnya. Hal inipun berlaku kepada Mura. Mata Mura menyiratkan ketertarikan kepada Rena. Hanya saja, hatinya langsung menepis. Pikirannya masih mencintai Nuyi kala itu. Mura memesan es kopi hitam pahit, dan langsung menepi mencari tempat duduk yang kosong. 
Sebetulnya pertemuan mereka memberi isyarat ketertarikan masing-masing. Hal itulah yang membuat Mura terus-terusan mampir dikedai kopi Rena setiap sore. Pun terjadi pada Rena. Hari-hari Rena menjadi semakin bersemangat menjalani hari. Semenjak pertemuan itu, mereka saling mengisi, saling berbagi kisah. Dengan semua obrolan ngalur ngidul, hingga curahan hati yang mereka utarakan satu sama lain disetiap sorenya.
Semakin dekat mereka bersama. Walau hanya sekedar saling sapa dan obrolan singkat di kedai kopi Rena. Hingga mereka tidak sadar, rasa nyaman itu muncul perlahan pada mereka. Rasa bahagia ketika kedua manusia yang saling bertemu untuk sekedar melepas lelah. Rena sudah menemukan hal itu, tapi Mura, masih menjaga hatinya untuk Nuyi, sepenggal kisah kasih yang bertepuk sebelah tangan. Rena mengetahui hal itu, berulang kali Rena membujuk Mura agar tidak terobsesi pada Nuyi yang sudah punya dunianya sendiri. Tapi dasar Mura, hatinya tak sampai untuk mendengarkan Rena yang dengan ikhlas mengingatkannya. Bukan untuk memiliki Mura, bukan pula untuk merebut hatinya Mura. Tapi untuk perasaan Mura yang terbebas dari hati yang terkurung, terkekang resah pada Nuyi. Hatinya tetap kukuh pada Nuyi, tapi Rena tidak pernah menyerah, perlahan dia mengikis perasaan Mura pada Nuyi, dengan sabar dan telaten. Entah sampai kapan, tapi hati Rena berkata hanya dia yang bisa membebaskan Mura.
Tapi sore itu Rena termenung, empat hari ini Mura tak kunjung datang ke kedainya. Hatinya gundah. Perasaan takut menepi di hatinya. Rasa cemas yang teramat dalam karna Mura tak kunjung datang. Perasaan itu yang membuat Rena tergerak untuk mendatangi Mura malam nanti.
Tanpa disadari, rasa Rena terhadap Mura terus mendalam. Hati Rena harus mengakui bahwa rasa itu telah berubah semenjak pertemuan pertama mereka. Rasa cinta kini tertanam dalam menusuk hati Rena. Itu sebabnya, Rena sepeduli itu terhadap Mura. Rena sekhawatir itu pada Mura. Dan, pada akhirnya hati Rena ingin memiliki Mura.
Kasih tak sampai Mura pada Nuyi, kini terasa pada Rena kepada Mura. Hatinya gusar untuk tetap mengagumi Mura dalam diam.
Hari terakhir sebelum Mura menghilang, Mura berjanji akan memperbaiki perasaannya, akan mencoba melupakan Nuyi dan mulai menata hati untuk kehidupan yang baru. Perkataan itu membuat Rena berbunga. Seakan terhembus angin segar dalam hatinya. Tentang perasaanya kepada Mura. 

***
Malam itu Rena menutup kedai lebih awal. Niatan Rena untuk menemui Mura  adalah puncak kecemasannya pada Mura. Sepanjang jalan Rena hanya bisa cemas, rasa gundah seakan terus menemani Rena. 
Setibanya dikosan Mura, tempatnya terlihat sepi. Didepan pagar, Rena disambut seorang bapak yang menghadangnya.
"Maaf, nona cari seseorang?" Suara bapak paruh baya mengagetkan Rena yang celingukan mencari kamar Mura dari luar pagar. 

"Maaf pak, apa benar ditempat ini ada yang bernama Mura?" Rena bertanya dengan senyumnya, namun berbeda dengan senyum Rena seperti biasanya. 

"Mohon maaf, nona yang bernama Rena?" Tanya bapak itu. 

"Betul, saya Rena, saya hendak bertemu Mura." Jawab Rena. 

"Ahh, benar anda yang kita cari. Sebelumnya saya minta maaf yang teramat dalam, saya tidak tahu siapa nona, dan saya tidak terlalu dekat dengan saudara Mura. Tapi saya harus menyampaikan ini. Saudara Mura sudah berpulang, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Oveedosis." Jelas si bapak. 

Rena terdiam membeku. Seperti disambar petir disiang bolong, hati Rena hancur berkeping-keping, berantakan. Air mata jatuh bercucuran dipipinya yang memerah. Tak ada kata yang bisa diucapkan. Kakinya lemas, tak bisa bergetar tak bisa bergerak. 

"Maaf nona, saya harus menyampaikan berita duka ini. Dan, mendiang menyampaikan secarik surat yang menyinggung nama nona. Maka dari itu saya langsung tau nona yang bernama Rena, orang yang kita tunggu-tunggu." Sambung si bapak. 

Bapak itu memberikan secarik surat kepada Rena yang masih mematung. Tangisnya mendampingi surat yang tak kuat untuk Rena baca. Akhirnya Rena berpamitan dan melangkah pergi menjauh dari tempat itu. Tempat yang baru pertama kali dia datangi, namun menjadi tempat paling terburuk dalam hidupnya Rena. Tak mampu Rena menanyakan dimana Mura dikebumikan, hatinya teramat sakit. Tak bisa mencerna semua ini. Sambil berjalan dengan susah payah, Rena melangkah tanpa tujuan. Hatinya masih menangis, tangannya masih menggenggam secarik kertas itu. Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, Rena memberanikan diri untuk membaca 'surat terakhir dari Mura'. Isak tangis Rena semakin menjadi-jadi. Rena membaca kata perkata hingga selesai. Dengan sekali nafas, Rena menyudahi membacanya, mengeluarkan korek gas yang dia bawa dan langsung membakar surat itu. Matanya kini terfokus, Rena menatap kedepan dan berjalan dengan sedikit bertenaga. Tangisnya telah usai. 

"Dear Rena,
Maafkan aku karena harus melakukan ini. Tubuhku yang ringkih ini tak sanggup lagi untuk menahan beban yang menghantuiku. Pikiranku sudah tak mampu lagi untuk berpikir. Hanya hatikulah yang tersisa untuk terlihat teguh.
Rena, engkau sangat tahu bawa aku telah mencintaimu. Sorot mataku ketika berbincang denganmu seraya mengisyaratkan perasaan hatiku untukmu. Semoga kamu mengerti itu.
Sekali lagi aku minta maaf. Aku tak sanggup untuk memilih hidup bersamamu. Walaupun kamu tahu aku bisa lakukan itu. Tapi hatiku terpaut sangat jauh untuk bisa melupakan wanita brengsek itu. Aku tak mau kisah kita ternodai karna aku masih menaruh luka pada dia. Aku tak mau sucinya cintamu dibalas dengan kepura-puraanku dihadapanmu. Walaupun kamu tahu bahwa aku telah mencintaimu. 
Rena, teruslah lalui harimu dengan kegembiraan. Sebarkan senyum indah itu kepada semua orang yang kamu temui. Biarkan rasa cinta padamu aku bawa pindah ke alam lain. Biarkan aku mati dalam keadaan mencintaimu. Setidaknya hanya aku yang akan terus mencintaimu dalam diamku, hanya aku yang akan terus mengingatmu dalam matiku. 

Teruslah hidup, berjalanlah sesuai dengan apa rencanamu. Karna kamu tahu ketika kamu merasa seisi dunia tak ada yang mencintaimu, ada aku yang setia mencintaimu di alam kuburku.
Tetap jaga hidupmu, jangan sia-siakan hari-harimu. 

Rena, aku mencintaimu. 

Mura." 

Malam itu Rena mengerti. Bahwa cinta Mura padanya akan abadi. Meski Rena akan menjalani hari dengan sepi, sunyi. Sendiri.

Minggu, 11 Februari 2024

Sore II

Pencarianku kini terhenti
Terdiam sesaat mematri
Langkah yang berat telah berakhir
Kukira senja itu hadir lagi 

Perjalananku berakhir dipantai ini
Dengan keindahannya kini kembali
Memupuk rasaku yang hampir mati
Kini merekah bagai senyum manis bibirmu 

Tapi senja itu tak sendiri
Dia hadir dengan mendungnya
Hanya sesaat sinar itu dapat kunikmati
Selebih itu tak ada lagi
Dia hadir namun tak nampak lagi

Kukira kau pulang sendiri
Tetapi awan hitam itu masih kau miliki
Kau bawa seraya mimpi
Dan kau sendiri yang terus mengiringi 

Bukan mendung yang aku rundung
Tapi hangatnya sinarmu yang tak bisa ku rasa lagi

Sore I

Senja itu terlihat lagi
Semenjak ku duduk ditepi pantai ini
Termenung menanti asa yang terkunci
Dihiasi sepotong kecil harapan 

Senja itu terlihat lagi
Diujung pandangan nan jauh disana
Sesunyi sore merangkak datang
Untuk terlihat seakan bermimpi

Paparan sinar senja itu terasa lagi
Merasuk senyap kedalam pori-pori
Terasa pekat penuh hangat
Mengandung rindu teramat besar

Tuhan, terimakasih..
Untuk senja yang kembali
Untuk rindu yang terobati
Untuk rasa yang hampir mati
Dan untuk mentari yang kembali menyinari

Sabtu, 06 Januari 2024

Sunset

Sunset ini menjadi saksi
Tatap nanar matanya
Senyum tipis indahnya
Raut wajah berserinya

Sunset ini menjadi saksi
Hati yang tenang, jiwa yang tentram
Menumpahkan segala rasa
Merumpah ruah seluas samudra

Sunset ini menjadi saksi
Tersirat harapan yang tinggi
Membangun mimpi-mimpi sederhana
Bersama suara yang terus mengiang

Dan sunset ini menjadi saksi
Bahwa cinta ini abadi
Bahwa rasa itu kekal
Seperti hari-hari yang kita lalui

Dan akhirnyak kini aku menepi
Dengan janji di sunset ini
Sendiri

Kembali

Aku kembali,
Ketempat dimana indah itu bersemi
Menemani sepi yang makin sunyi
Menyambut hari yang kian memaki

Aku kembali,
Menemui udara yang dulu kita nikmati
Bersalur sinar mentari yang terik
Membual semua kenangan dimasa kini

Ditempat ini kita pernah bertepi
Ujung laut ini jadi saksi
Bahwa kita pernah berjanji
Dipantai ini kita bersemi
Bersama hati yang paling berseri

Dan kini aku kembali,
Dengan hati yang tak cukup terisi
Oleh rindu yang tak pernah terpenuhi