
Sore itu, hendak aku mengasingkan diriku ke sebuah tempat dimana biasa aku mengasingkan diri dari penatnya hidupku yang mulai penuh dengan angka”lah, derajat menit detiklah, rumus beda tinggilah, dan semua polusi kapitalisme yang mulai membuat aku penat. Tamansari, sebuah tempat yang penuh dengan penduduk, tapi disanalah aku mengasingak diri bersama teman” pengasinganku, walau hanya sekedar saling bertukar fikiran dan saling kekeak diantara kami. Sungguh saat” yang sangat aku rindukan.
Bergegas aku melangkahkan kakiku menuju tamansari. Dengan mendampingi sepeda tercintaku “the black long beach”. Yang selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi, walau kadang terasa lelah (kumaha ieu ). Mulai aku menikmati senjanya jalan” dikota bandung, mulai dari masjid kebanggaan orang bandung ( pusdai ), hingga gelanggang olahraga yang kini menjadi tempat pasar tumpah di minggu pagi ( gasibu ). Belum aku lewati lapangan gasibu, sudah terjebak aku oleh lampu merah yang menyala terang disenja itu. Mendadak kuhentikan laju sepedaku tepat berada dibawah lampu merah, karna aku adalah warga bandung yang baik dan benar ( wae ).
Tepat berhenti disampingku sebuah “moge” yang kulihat ditumpangi dua orang. Ku perhatikan satu persatu penunggangnya, mulai dari sang joki yang saat kulihat dia memasang muka garang dan tersenyum “cengos”, dan aku membalas dengan senyuman ramah padanya. juga di belakangnya aku pandangi seorang wanita cantik, putih (waw), dan tak sempurna menurutku, karna dia memakai leging ( anjir ), akupun tersenyum ramah kepadanya. Tak puas dengan stelan wajah garangnya kepadaku, pengendara itu menggerung – gerungkan motornya yang terdengar sangat bising. Seakan – akan dia berkata “ ahh.. eleh lah budak ieu mah, da ngan make sapedah” . terus dia gerungkan motornya sampai lampu hijaupun menyala. Dan dia pun tancap gasnya dengan full dan menghilang dalam tumpukan mobil” yang terus membanyak (huuuh..... berakhir sudah kemaluanku).
Aku lanjutkan perjalananku menuju tamnsari den terus berusaha menggoes sepedaku yang makin terasa berat karna menanjak. Di tengah perjalanan, aku terhenti lagi karna di depanku terjadi kecelakaan. Penasaran, dekati aku pada kecelakaan tadi. Begitu aku melihat korban kecelakaan itu, betapa kaget aku melihat korban itu adalah penunggang moge tadi. Berhenti aku sejenak untuk melihat korban itu, pria cengos itu kembali memandangiku, berbeda dengan pandangan yang tadi, sekarang dia memandangku dengan penuh rasa malu, begitupun sang wanita cantik tak sempurna itu juga, dan aku kembali hanya lemparkan senyuman ramahku kepada mereka sembari aku melanjutkan perjalanan ku. Sembari berjalan, aku teringat aku pada sepatah kata yang dilemparkan oleh temanku dengan penuh gelora dan kelemasan, karna dia telah meneguk sebuah minuman yang haram dan mungkin telah dia halalkan. Dia berkata “matak hirup mah ulah angkuh ngan saukur ku nunjukeun harta, urang kudu angkuh lamun urang geus bisa nunjukeun karya”. Sebuah pelajaran berharga yang aku dapatkan, walau hanya dari seorang pemabuk.